Sabtu, 06 April 2013

Cinta Karna ALLOH







ADA BEBERAPA PERTANYAAN MENGENAI CINTA KARNA ALLOH,bisa di simak baik-baik :

Assalamualaikum,ustadz/ustadzah,,,minta pencerahanya donk yg dimaksud "aku mencintai mu karna Allah" itu yg bagaimana yah??

Tanggapan:

محفوظ عبيدالله الرحمن, menjawab :

Benarkah kita mencintai karena Allah? Mari kita bahas sebenarnya apakah kita benar-benar mencintai karena Allah? Jangan-jangan kita berkata mencintai karena Allah tetapi sebenarnya tidak. Seperti yang dilakukan oleh Delisa kecil dalam Novel Hafalan Shalat Delisa yang mengatakan kepada uminya, “Umi, Delisa cinta umi karena Allah” padahal ia mengatakan itu karena ingin diberi cokelat oleh guru ngajinya.
  Mencintai karena Allah berarti kita mencintai seseorang karena berlandaskan Allah. Karena kita berlandaskan kepada Allah maka kita mencintai apa yang diperintahkan oleh Allah kepada kita. Jika cinta kita karena Allah, hanya ingin mendapatkan Ridhlo-Nya maka Allahpun akan mencintai kita
  “Sesungguhnya Allah SWT pada hari kiamat berfirman : “Dimanakah orang yang cinta mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini Aku akan menaungi dengan menunggu-Ku dihari yang tiada naungan melainkan naungan-Ku” (H.R. Muslim)
  Dalam sebuah hadist qudsi juga disebutkan;
  Allah swt berfirman, “pasti akan mendapat cinta-Ku orang-orang yang cinta mencintai karena Aku, saling kunjung mengunjungi karena Aku dan saling memberi karena Aku”
Dalam kesempatan ini, pembahasan cinta difokuskan terhadap lawan jenis yang belum halal (belum kita nikahi

Adapun beberapa ciri-ciri cinta karena Allah:
  Memilih mencintai seseorang karena Allah berarti ia memilih karena Allah, yaitu pilihlah agamanya.
  Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Jika datang melamar kepadamu orang yang engkau ridho agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dengannya, jika kamu tidak menerimanya, niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang luas.” (HR. Tirmidzi, hasan)
  Mungkin ada yang menyeletuk, Fatimah binti Muhammad, putri jelita Rasulullah pernah menolak lamaran sahabat-sahabat terbaik Rasulullah. Dia pernah menolak laki-laki yang baik agamanya. Bahkan tak hanya baik tapi sangat baik agama dan akhlaknya. Ya tentu kita boleh-boleh saja menolak. Pertanyaanya adalah apakah kita sudah sesholehah Fatimah Binti Muhammad yang pemahaman agamanya dan kesholehahnya langsung dibina oleh Rasulullah? Tentu hadist tersebut dikelurkan oleh Rasulullah agar bisa menjadi pedoman bagi kita untuk memilih seseorang karena agamanya.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
  “Wanita itu dinikahi karena empat perkara yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang punya agama, engkau akan beruntung.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1466)


Ayo Ngajii, bertanya:

ana tertarik dengan pembahasan ini,,
lalu bgm jka kita kehilangan seseorang yg kita cintai.?
sbab sgt bnyk dri kita yg gelisah bhkan putus asa sampai stres brat di saat di tinggal oleh org yg dia cintai, misalkan si kekasih hati meninggal dunia lah.! apa yg sharusnya yg kita lakukan.?!


محفوظ عبيدالله الرحمن, menjawab :

Bagaimana jika ternyata wanita yang kita cintai meninggal apakah kita juga harus ikut meninggal bunuh diri seperti dalam kisah Romeo dan Juliet? Tentu tidak! Kita mencintai dengan cara yang Allah cinta juga. Bunuh diri bukankah sangat dilarang oleh agama? Tidak mungkin jika kita mencintai karena Allah tetapi kita sendiri melanggar ketentuan-ketentuan Allah.

Inilah doa Rosulullah saat ditinggal istrinya yang paling ia cintai untuk selamanya didunia ini; Khadijah.
  “Ya Allah, berilah aku rezeki cinta Mu dan cinta orang yang bermanfaat buat ku cintanya di sisi Mu. Ya Allah segala yang Engkau rezekikan untukku di antara yang aku cintai, jadikanlah itu sebagai kekuatanku untuk mendapatkan yang Engkau cintai. Ya Allah, apa yang Engkau singkirkan di antara sesuatu yang aku cintai, jadikan itu kebebasan untuku dalam segala hal yang Engkau cintai.” (HR. Al-Tirmidi)
  Lihatlah dalam doa kalimat terakhir diatas yang berbunyi “Ya Allah, apa yang Engkau singkirkan di antara sesuatu yang aku cintai, jadikan itu kebebasan untukku dalam segala hal yang Engkau cintai”. Arti dari doa tersebut adalah apa yang kita cintai mudah-mudahan menjadi kekuatan kita untuk mencintai hal lain yang Allah cintai dan ketika sesuatu yang kita cintai ternyata diambil oleh Allah maka jadikan hal tersebut menjadi kebebasan kita untuk mencintai hal-hal (sesorang atau sesuatu) lain yang juga Allah cintai. Jika seseorang yang kita cintai diambil oleh Allah maka jadikan ini sebagai kebebasan kita untuk mencintai seseorang lain yang lebih sholeh atau shoehah.


Belajar Al-Qur'an Dan As-sunnah, menjawab :

Mencintai karena Allah berarti menjalankan segala perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya.
  1) Tidak bersentuhan
  Dari Ma’qil bin Yasar RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: “ Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi itu masih lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR Thabrani dalam Mu’jam Kabir). Dari Aisyah berkata: “Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun saat membaiat.” (HR. Bukhari 4891)
  2) Tidak berdua-duan
  Barangsiapa yang bermain pada Allah dan hari akhir maka hendaknya tidak berkhalwat (berdua-duan) dengan perempuan bukan mahram karena pihak ketiga adalah setan. (HR. Ahmad)
  3) Tidak berzina (mendekati zina saja jangan)
  Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang jelek” (Q. S. Al Isra 32)

jika cintaku padamu karena nafsu,
  maka campakkan aku dengan kata-kata terpahit yang bisa kau ucapkan.
  jika cintaku padamu menjauhkanku dari Allah,
  maka hinakan aku dengan hinaan yang paling hina yang bisa kau lontarkan.
jika cintaku padamu , meninggalkan agamamu
  maka tutuplah hatimu serapat mungkin.
Namun.
  Jika cintaku karena Allah,
  Jika cintaku sebagai wujud pengabdianku pada Allah,
  Jika cintaku untuk menjaga kehormatanku,
  Jika cintaku karena ingin membawamu pada kedekatan dengan Allah,
  Jika cintaku karena ingin menjadikan dirimu sebagai ibu bagi anak-anakku,
  Jangan kau palingkan wajahmu,
Jangan kau tutupkan hatimu,
Jangan kau campakkan diriku,
  Jangan kau sia-siakan aku,
  Sesungguhnya Aku Mencintaimu Karena Allah.
Itulah beberapa hal yang mungkin perlu kita perhatikan jika kita meamang mencintai karena Allah. Karena Cinta bukan hanya sekedar kata, bukan hanya pertautan hati dan bukan hanya hasrat luapan jiwa (PADI). Kata Anis Matta Jika cinta kita karena Allah, maka cinta yang lain hanyalah bentuk pengejawantahan cinta kita kepada-Nya. mudah-mudahan yang sedikit ini bermanfaat khususnya bagi saya pribadi dan bagi teman-teman yang sudah mau berkenan membaca. Terakhir semoga kita mencintai karena Allah. Aamiin.
  Barakallahufiikum, Semoga bermanfaat. Banyak senyum dan cinta ^_^


Palupi Puspita Ning Tyas, bertanya:

subhanallah...senangmmbcanya.
tp,sering ak brtnya pd diriku sndri,jk dtang oRg yg baik dn orng tua ridho,meski aku blm jth cinta pdanya,tp ak mnerima,,apakah ak bsa jth cnta pdanya kelak?
apakah ini prtnyaan salah,mhn pncrahan nya ya akhi,


محفوظ عبيدالله الرحمن, menjawab :

Disinilah prioritas utama mengerjakan shalat istiqarah. Yang terpenting jangan memaksakan diri untuk mencintai. :)

MEMBALAS UCAPAN JAZAKALLAHU KHAIRAN & BARAKALLAHU FIIK





Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

من صُنِعَ إليه مَعْرُوفٌ فقال لِفَاعِلِهِ جَزَاكَ الله خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ في الثَّنَاءِ

"Barangsiapa yang diberikan satu perbuatan kebaikan kepadanya lalu dia membalasnya dengan mengatakan: 'Jazaakallahu khairan' (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh hal itu telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya."
[HR.At-Tirmidzi (2035), An-Nasaai dalam Al-Kubra (6/53), Al-Maqdisi dalam Al-Mukhtarah (4/1321), Ibnu Hibban (3413), Al-Bazzar dalam musnadnya (7/54). Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi]
Pertanyaan:
"Apakah ada dalil, bahwa ketika membalasnya dengan mengucapkan 'wa iyyakum' (dan kepadamu juga)?"
Al-Allamah Asy-Syaikh Al-Muhaddits Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah Ta'ala menjawab:
"TIDAK, sepantasnya dia juga mengatakan 'Jazakallahu khairan' (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan pula), yaitu didoakan sebagaimana dia berdo’a, meskipun perkataan seperti 'wa iyyakum' sebagai athaf (mengikuti) ucapan 'jazaakum', yaitu ucapan 'wa iyyakum' bermakna 'sebagaimana kami mendapat kebaikan, juga kalian', namun jika dia mengatakan 'jazaakalallahu khairan' dan menyebut do’a tersebut secara nash, tidak diragukan lagi bahwa hal ini lebih utama dan lebih afdhal.”
(Transkrip: durus syarah sunan At-Tirmidzi,oleh Al-Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad hafidzahullah,kitab Al-Birr wa Ash-Shilah, nomor hadits: 222.).
Banyak orang yang sering mengucapkan "wa iyyak" (dan kepadamu juga) atau "wa iyyakum" (dan kepada kalian juga) ketika telah dido’akan atau mendapat kebaikan dari seseorang. Apakah ada sunnahnya mengucapkan seperti ini? Lalu bagaimanakah ucapan yang sebenarnya ketika seseorang telah mendapat kebaikan dari orang lain misalnya ucapan “jazakallah khair atau barakalahu fiikum”?
Berikut fatwa Ulama yang berkaitan dengan ucapan tersebut:
Asy Syaikh Muhammad ‘Umar Baazmool, pengajar di Universitas Ummul Quraa Mekah, ditanya:
Beberapa orang sering mengatakan “Amiin, wa iyyaak” (amiin, dan kepadamu juga) setelah seseorang mengucapkan “Jazakallahu khairan” (semoga Allah membalas kebaikanmu). Apakah merupakan suatu keharusan untuk membalas dengan perkataan ini setiap saat?
Beliau menjawab:
"Ada banyak riwayat dari sahabat dan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ada riwayat yang menjelaskan tindakan ulama. Dalam riwayat mereka yang mengatakan “Jazakalahu khairan,” tidak ada yang menyebutkan bahwa mereka secara khusus membalas dengan perkataan “wa iyyaakum.”
Karena ini, mereka yang berpegang pada perkataan “wa iyyaakum” setelah doa apapun, dan tidak berkata “Jazakallahu khairan”, (maka) mereka telah jatuh ke dalam suatu yang baru yang telah ditambahkan (untuk agama)."
Demikian halnya ketika membalas orang yang mengucapkan "Barakallahu fiik" (semoga Allah memberkahimu), yaitu dengan ucapan:
وَفِيْكَ بَارَكَ اللهُ
Wa fiika barakallah
(Semoga Allah juga memberkahimu)
Jaza kumullahu khoiro
(Ibnu Sunni, hal. 138, no. 278, lihat Al-Waabilush Shayyib Ibnil Qayyim, hal. 304. Tahqiq Muhammad Uyun. Lihat juga dalam Hisnul Muslim)
NB: intinya silahkan balas dengan lafadz aamiin ^_^

celana jins bagi wanita




ada wanita pake celana jins namun bajunya panjang nampk selutut tw setengah betis gmn?
hukumnya boleh atau tidak.??

Jawaban;


محفوظ عبيدالله الرحمن

**
Wanita muslimah dilarang mencukupkan diri memakai celana (termasuk celana Jeans) untuk menutupi auratnya ketika berada dalam kehidupan umum di luar rumah karena tiga alasan; pertama; Belum melaksanakan perintah Allah dan RasulNya dalam berpakaian diluar rumah, kedua; Termasuk Tabarruj jika celananya ketat, ketiga; bisa terkategori Tasyabbuh.

umumnya celana yang dipakai wanita muslimah zaman sekarang adalah celana ketat yang menonjolkan bagian-bagian tubuh termasuk pakaian dalamnya. Hal ini secara alami menarik perhatian dan hasrat lelaki yang melihatnya. Semua aktivitas yang menarik perhatian dan hasrat lelaki yang mengindranya termasuk aktivitas Tabarruj (bersolek) yang diharamkan Islam. Memakai parfum agar dicium bau wanginya oleh lelaki, berjalan dengan berlenggak-lenggok ala peragawati, bersuara manja, berdandan menor, termasuk pakaian ketat atau transparan semuanya termasuk Tabarruj yang diharamkan Islam. Dalil yang menunjukkan keharaman taabarruj diantaranya adalah hadis berikut;

صحيح مسلم (11/ 59)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ 
عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

 Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Dua golongan penghuni neraka yang belum pernah aku lihat; kaum membawa cambuk seperti ekor sapi, dengannya ia memukuli orang dan wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, mereka berlenggak-lenggok dan condong, rambut mereka seperti punuk unta Khurasan yang miring, mereka tidak masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan sejauh sekian dan sekian. (H.R.Muslim)"
  Nabi memberi tahu bahwa diantara ciri wanita-wanita yang akan masuk neraka itu adalah mereka yang berpakaian tapi telanjang (tipis/transparan atau ketat), berjalan melenggak-lenggok, dan rambut dipamerkan keindahannya dengan disetting semenarik mungkin. Semua ini adalah perilaku Tabarruj. Ancaman akan masuk neraka menunjukkan haramnya Tabarruj.

**
Adapun alasan yang selanjutnya, sesungguhnya cara berpakaian di luar rumah/di tempat umum adalah cara berpakaian wanita-wanita di luar Islam, apalagi celana Jeans. Sudah diketahui bahwa celana jenis ini berasal dari Amerika Serikat dan dipakai wanita-wanita kafir disana sebagaimana dipakai para lelakinya. Dengan realitas semacam ini, dikhawatirkan wanita termasuk melakukan Tasyabbuh (berusaha menyerupakan diri) dengan wanita-wanita diluar Islam, padahal Islam mengharamkan Tasyabbuh dan memvonis siapa yang melakukan Tasyabbuh maka dia termasuk golongan orang yang ditasyabbuhi. Abu Dawud meriwayatkan;

سنن أبى داود - م (4/ 78)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ».
  dari Ibnu Umar ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa bertasyabbuh dengan suatu kaum, maka ia bagian dari mereka (H.R.Abu Dawud)
  Pakaian lelaki memang berbeda dengan wanita. Aurat lelaki juga berbeda dengan wanita. Aurat lelaki adalah daerah antara pusar sampai lutut saja sementara aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan (sebagian kaum muslimin berpendapat seluruh tubuhnya tanpa kecuali sehingga harus pakai cadar). Pakaian untuk lelaki tidak ditentukan syariat, sehingga dia boleh memakai celana, sarung, gamis dan sebagainya selama masih dalam batas-batas syariat. Adapun wanita, pakaiannya telah ditunjukkan syariat yaitu Khimar (kerudung) dan Jilbab (jubah longgar). Ketentuan ini wajib ditaati oleh setiap muslimah yang beriman.
  Atas dasar ini wanita tidak boleh hanya memakai celana saja ketika di luar rumah dalam kehidupan publik, karena belum melaksanakan perintah Allah dan Rasulnya, termasuk Tabarruj, dan Tasyabbuh. Wanita hanya boleh memakai celana (tanpa kerudung sekalipun) jika berada di dalam rumah untuk dilihat sesama wanita atau Mahramnya. Wallahua’lam.


Belajar Al-Qur'an Dan As-sunnah

Jazaakillah khairan katsira, terima kasih banyak akhi Pencari Ilmu atas pertanyaan luar biasa ini. Sungguh pertanyaan sangat penting dan sangat brilian, terima kasih.
  Bentuk dan model serta cara berpakaian, dalam ajaran Islam termasuk persoalan adat. Islam hanya mewajibkan wanita dan laki-laki menutup aurat dengan batasan yang sudah ditentukan. Adapun cara menutup auratnya, bentuk pakaiannya, semuanya diserahkan kepada manusia itu sendiri, selama tidak menyalahi aturan di atas, menutup aurat.
  Dalam kaidah fiqih disebutkan, bahwa asal dalam masalah adat adalah boleh, sampai ada dalil yang melarangnya (al-ashlu fil 'adah al-Ibahah, hatta yadullad dalil 'alat tahrim). Artinya, silahkan manusia berkreasi sendiri tentang cara, bentuk dan lain sebagainya. Dan ini berbeda dengan masalah ibadah. Untuk masalah ibadah, khususnya ibadah mahdah, asal dalam ibadah adalah dilarang, sampai ada dalil yang memerintahkannya (al-ashlu fil ibadah al-buthlan hatta yadullad dalil 'alal amri). Jadi untuk masalah ibadah, kita tidak boleh berkreasi mencipta-cipta. Jika tidak ada petunjuk dari Allah dan RasulNya, maka kita tidak boleh membuat atau melakukan apapun.

Karena cara dan bentuk berpakaian termasuk masalah adat, maka sebagaimana telah saya sampaikan, semuanya diserahkan kepada kita cara dan bentuknya. Hanya, ada tiga hal pokok yang perlu diperhatikan dalam berpakaian, khususnya untuk wanita:

  1. Laa taksyif, artinya jangan terbuka. Maksudnya, jangan sampai pakaian tersebut membuka aurat kita, sehingga aurat nampak dan tidak tertutup. Pakaian yang tidak memenuhi syarat ini, tidak diperbolehkan dipakai, karena tidak menutup aurat.

  2. Laa tasyif, artinya jangan transparan. Maksudnya, selain pakaian tersebut harus menutup aurat, juga tidak boleh sampai membayang atau transparan, sehingga bentuk dalam badan kita nampak dari luar. Dengan kata lain, bahan pakaian yang dipergunakan jangan sampai yang tembus pandang atau terlalu tipis sehingga tubuh kita membayang. Pakaian yang tidak memenuhi syarat ini juga tidak dibenarkan untuk dipakai.

  3. Laa tashif (menggunakan huruf shad, dari kata washafa yashifu), yang artinya jangan ketat. Sekalipun pakaian itu tidak membuka aurat kita, tidak transparan, namun jika sangat ketat sehingga bentuk tubuh kita kelihatan, ini juga tidak dibenarkan untuk dipakai. Mengapa? Karena bentuk tubuh atau lekukan tubuh yang nampak karena pakaian yang ketat, juga mengundang perhatian berlebihan dari kaum laki-laki.

  Demikian tiga hal utama yang perlu diperhatikan dalam hal berpakaian. Lalu apakah celana panjang atau jeans boleh dipakai oleh wanita? Hemat saya, sulit untuk mencarikan dalil tidak bolehnya wanita memakai celana panjang atau jeans. Tentu selama tidak termasuk salah satu dari tiga hal di atas, terutama hal yang ketiga, tidak ketat.

  Mengatakan jeans adalah menyerupai laki-laki, juga hemat saya kurang tepat. Yang dimaksud dengan jangan dan tidak boleh perempuan menyerupai laki-laki dalam kontek pakaian adalah bahwa pakaian itu menurut keumuman adat yang berlaku hanya dipakai oleh laki-laki. Sehingga ketika seorang perempuan memakainya, maka hampir seluruh orang yang melihat akan mengatakan dia adalah laki-laki. Nah, hal ini, hemat saya, tidak didapatkan untuk celana panjang atau jeans.

  Untuk saat sekarang, jeans bukan milik semata kaum adam, tapi juga milik berdua; kaum hawa dan adam. Karena itu, hemat saya dan Allah tentu Maha Tahu yang lebih benar, wanita diperbolehkan memakai celana panjang atau celana jeans jika memenuhi syarat-syarat di atas. Sungguh luar biasa, dan ini yang sangat diharuskan, bagi wanita yang memakai celana panjang atau celana jeans, hendaknya ia memanjangkan bajunya sehingga menutup, maaf, pantat dan pahanya. Jika seseorang memakai celana panjang, tapi pantat kelihatan dan menjadi pusat perhatian kaum adam karena membentuk, maka pakaian seperti ini tidak diperbolehkan.

  Oleh karena itu, model pakaian wanita yang menggunakan celana panjang selama tidak termasuk salah satu dari tiga hal di atas, dan ditambah dengan menutup bagian pantat dan paha, hemat saya, sesuai dengan ajaran Islam. Wallahu a'lam bis shawab.

Hadits dua kullah



Dari Abdullah bin Umar radiyallahu ‘anhuma dia berkata (bahwa) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “jika air mencapai dua kullah, maka (air tersebut) tidak mengandung kotoran [najis]”. Dalam lafadz lain: “(air tersebut) tidak ternajisi.

Dikeluarkan oleh imam yang empat, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Al Hakim, dan Ibnu Hibban.

Derajat hadits:

Hadits ini shahih, dinamakan juga dengan hadits qullatain (dua kullah).
Para ulama berbeda pendapat mengenai keshahihan hadits ini, sebagian ulama menghukumi hadits ini dengan syadz (nyeleneh) pada sanad dan matannya.
Syadz pada matannya dari segi bahwa hadist ini tidak ,i>masyhur padahal kandungan hadits ini sangat dibutuhkan, seharusnya dinukil secara masyhur, namun hal ini tidak. Dan tidak ada yang meriwayatkan hadits ini kecuali Ibnu Umar saja.
Adapun segi idhtirob (simpang siur) pada matan, yaitu adanya sebagian riwayat “jika air mencapai dua kullah”, ada juga “jika air mencapai tiga kullah”, ada juga “jika air mencapai empat puluh kullah”. Ukuran kullahpun tidak diketahui, dan mengandung pengertian yang berbeda-beda.
Adapun ulama yang membela hadits ini dan mengamalkannya seperti Imam Asy Syaukani, beliau berkata, “telah dijawab tuduhan idhtirob (simpang siur) dari segi sanad bahwa selagi terjaga di seluruh jalur periwayatannya, maka tidak bisa dianggap idhtirob (simpang siur), karena hadits tersebut dinukil oleh yang terpercaya kepada yang terpercaya. Al Hafidz berkata, “Hadits ini memiliki jalur periwayatan dari Al Hakim dan sanadnya dikatakan baik oleh Ibnu Ma’in.” Adapun tuduhan idhtirob dari segi matan, maka sesungguhnya riwayat “tiga” itu syadz, riwayat “empat puluh kullah” itu mudhtorib, bahkan dikatakan bahwa kedua riwayat tersebut maudhu’, dan riwayat “empat puluh” di-dho’ifkan oleh Ad Daruqtni.
Syaikh Al Albani berkata, “hadits ini shahih”, diriwayatkan oleh lima imam bersama Ad Darimi, At Thohawi, Ad Daruquthni, Al Hakim, Al Baihaqi, Ath Thoyalisi dengan sanad yang shahih.
Ath Thohawi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Adz Dzahabi, An Nawawi, Al Asqolaani menshahihkan hadits ini, dan sikap sebagian ulama yang mencacati hadits ini dengan idhtirob (simpang siur) tidaklah dapat diterima.
Ibnu Taimiyah berkata, “kebanyakan ulama menghasankan hadits ini dan menjadikannya sebagai hujjah (dalil), mereka telah membantah perkataan yang mencela hadits ini”
Diantara ulama yang menshahihkan hadits ini adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Mandzah, At Thohawi, An Nawawi, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar, Asy Suyuthi, Ahmad Syakir, dll.


Kosa kata:

  • Kata قلتين (qullataini) = dua kullah. Dua kullah sama dengan 500 ritl irak, dan 1 ritl irak sama dengan 90 misqol. Dengan takaran kilo, dua kullah sama dengan 200 kg.
  • Kata لم يحمل الخبث (lam yahmil khobats), yaitu tidak dicemari oleh kotoran (najis), maknanya adalah air tidak ternajisi dengan masuknya najis ke dalamnya, jika air tersebut mencapai dua kullah. Dikatakan juga bahwa maksudnya adalah air tersebut dapat melarutkan (menghilangkan) najis yang masuk ke dalamnya, sehingga air tersebut tidak ternajisi.
  • Kata الخبث (khobats) adalah najis.
Faedah hadits:

  1. Jika air mencapai dua kullah, maka air tersebut dapat menghilangkan najis (dengan sendirinya) sehingga najis tidak memberi pengaruh, dan inilah makna tersurat dari hadits tersebut.
  2. Dipahami dari hadits tersebut bahwa air yang kurang dari dua qullah, terkadang terkontaminasi oleh najis dengan masuknya najis sehingga air tersebut menjadi ternajisi, tetapi terkadang tidak menjadi ternajisi dengannya.
  3. Ternajisi atau tidaknya air bergantung pada ada atau tidaknya zat najis di dalamnya, jika najis tersebut telah hancur dan larut, maka air tersebut tetap pada kesuciannya.
Perbedaan pendapat ulama:

  • Imam Abu Hanifah, Asy Syafi’i, dan Ahmad, serta pengikut madzhab mereka, berpendapat bahwa air yang sedikit menjadi ternajisi dengan masuknya najis, walaupun najisnya tidak mengubah sifat air.
    Sedikitnya air menurut Abu Hanifah adalah air yang jika digerakkan di satu ujung wadahnya, maka ujung lainnya juga ikut bergerak.
    Adapun sedikitnya air menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad (Hanabilah) adalah air yang kurang dua kullah.
  • Imam Malik, Az Zhohiriyyah, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, ulama-ulama salafiyah di Nejd, dan para muhaqqiqin berpendapat bahwa air tidak menjadi ternajisi dengan masuknya najis selama salah satu dari tiga sifat air (rasa, warna, dan bau) tidak berubah.
Para ulama yang mengatakan bahwa air dapat ternajisi dengan sekedar masuknya najis berdalil dengan pemahaman hadits Ibnu Umar ini. Pemahamannya menurut mereka bahwa air yang kurang dari dua kullah akan mengandung kotoran [najis]. Di dalam satu riwayat, “jika (air) mencapai dua kullah, maka tidak ada sesuatupun yang dapat menajiskannya”. Maka pemahamannya bahwa air yang kurang dari dua kullah menjadi ternajisi dengan sekedar masuknya najis, sebagaimana mereka berdalil dengan hadits tentang perintah menumpahkan air pada wadah yang dijilati oleh anjing tanpa memperdulikan tentang perubahan sifat air nya.
Hadits qullatain (dua kullah) tidak bertentangan dengan pendapat Abu Hanifah, sebab air seukuran dua kulah jika diisi dalam suatu wadah, maka air di salah satu ujung wadah tidak bergerak dengan bergeraknya ujung lainnya.
Adapun dalil- dalil para ulama yang tidak memandang sebagai air yang ternajisi kecuali dengan perubahan sifat, diantaranya hadits qullataini ini, sesungguhnya makna hadits tersebut adalah air yang mencapai dua kullah tidak ternajisi dengan sekedar masuknya najis, karena air yang mencapai dua kullah tersebut tidak mengandung kotorang [najis] dan dapat menghilangkan najis-najis di dalamnya.
Adapun pemahaman hadits tersebut, tidak lazim demikian, sebab terkadang air menjadi ternajisi jika najis mengubah salah satu sifat air, dan terkadang air tidak ternajisi. Sebagaimana mereka juga berdalil dengan hadits tentang menuangkan seember air pada air kencing Arab Badui dan dalil lainnya.
Ibnul Qoyyim berkata, “yang dituntut oleh prinsip dasar syariat adalah : jika air tidak berubah sifatnya oleh najis maka air tersebut tidak menjadi ternajisi, hal itu karena air tetap dalam sifat alaminya, dan air yang seperti ini termasuk yang thoyyib (baik) dalam firman Allah, ((dan dihalalkan bagi mereka yang baik-baik)). Ini dapat diqiyaskan terhadap seluruh benda cair, jika terkena najis dan tidak mengubah warna, rasa, dan bau.

PENYAKIT HATI [KAGUM DIRI, MERASA POL DEWE]

    Kagum diri dapat diartikan suatu penyakit hati yang membuat seseorang merasa bahagia dengan pujian dari orang lain dan merasa diri...