Kamis, 07 Februari 2013

siapa imam safii , hambali , hanafi , maliki dan hubungannya dengan bab menetapi islam secara berJamaah





coba anda perhatikan masa deretan th rantai silsilah di bawah ini anda akan tau siapa imam safii hambali hanafi maliki mereka

Biografi para Ulama Ahlul Hadits, dari zaman sahabat hingga Abad 14 Hijriyah yang masyhur


1. Khalifah ar-Rasyidin :

Abu Bakr Ash-Shiddiq
Umar bin Al-Khaththab
Utsman bin Affan
Ali bin Abi Thalib

2. Al-Abadillah :

Ibnu Umar
Ibnu Abbas
Ibnu Az-Zubair
Ibnu Amr
Ibnu Mas’ud
Aisyah binti Abubakar
Ummu Salamah
Zainab bint Jahsy
Anas bin Malik
Zaid bin Tsabit
Abu Hurairah
Jabir bin Abdillah
Abu Sa’id Al-Khudri
Mu’adz bin Jabal
Abu Dzarr al-Ghifari
Sa’ad bin Abi Waqqash
Abu Darda’

3. Para Tabi’in :

Sa’id bin Al-Musayyab wafat 90 H
Urwah bin Zubair wafat 99 H
Sa’id bin Jubair wafat 95 H
Ali bin Al-Husain Zainal Abidin wafat 93 H
Muhammad bin Al-Hanafiyah wafat 80 H
Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud wafat 94 H
Salim bin Abdullah bin Umar wafat 106 H
Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash Shiddiq
Al-Hasan Al-Bashri wafat 110 H
Muhammad bin Sirin wafat 110 H
Umar bin Abdul Aziz wafat 101 H
Nafi’ bin Hurmuz wafat 117 H
Muhammad bin Syihab Az-Zuhri wafat 125 H
Ikrimah wafat 105 H
Asy Sya’by wafat 104 H
Ibrahim an-Nakha’iy wafat 96 H
Alqamah wafat 62 H

4. Para Tabi’ut tabi’in :

Malik bin Anas wafat 179 H
Al-Auza’i wafat 157 H
Sufyan bin Said Ats-Tsauri wafat 161 H
Sufyan bin Uyainah wafat 193 H
Al-Laits bin Sa’ad wafat 175 H
Syu’bah ibn A-Hajjaj wafat 160 H
Abu Hanifah An-Nu’man wafat 150 H

5. Atba’ Tabi’it Tabi’in : Setelah para tabi’ut tabi’in:

Abdullah bin Al-Mubarak wafat 181 H
Waki’ bin Al-Jarrah wafat 197 H
Abdurrahman bin Mahdy wafat 198 H
Yahya bin Sa’id Al-Qaththan wafat 198 H
Imam Syafi’i wafat 204 H

6. Murid-Murid atba’ Tabi’it Tabi’in :

Ahmad bin Hambal wafat 241 H
Yahya bin Ma’in wafat 233 H
Ali bin Al-Madini wafat 234 H
Abu Bakar bin Abi Syaibah Wafat 235 H
Ibnu Rahawaih Wafat 238 H
Ibnu Qutaibah Wafat 236 H

7. Kemudian murid-muridnya seperti:

Al-Bukhari wafat 256 H
Muslim wafat 271 H
Ibnu Majah wafat 273 H
Abu Hatim wafat 277 H
Abu Zur’ah wafat 264 H
Abu Dawud wafat 275 H
At-Tirmidzi wafat 279
An Nasa’i wafat 234 H

8. Generasi berikutnya : orang-orang generasi berikutnya yang berjalan di jalan mereka adalah:

Ibnu Jarir ath Thabary wafat 310 H
Ibnu Khuzaimah wafat 311 H
Muhammad Ibn Sa’ad wafat 230 H
Ad-Daruquthni wafat 385 H
Ath-Thahawi wafat 321 H
Al-Ajurri wafat 360 H
Ibnu Hibban wafat 342 H
Ath Thabarany wafat 360 H
Al-Hakim An-Naisaburi wafat 405 H
Al-Lalika’i wafat 416 H
Al-Baihaqi wafat 458 H
Al-Khathib Al-Baghdadi wafat 463 H
Ibnu Qudamah Al Maqdisi wafat 620 H

9. Murid-Murid Mereka :

Ibnu Daqiq Al-led wafat 702 H
Ibnu Taimiyah wafat 728 H
Al-Mizzi wafat 742 H
Imam Adz-Dzahabi (wafat 748 H)
Imam Ibnul-Qoyyim al-Jauziyyah (wafat 751 H)
Ibnu Katsir wafat 774 H
Asy-Syathibi wafat 790 H
Ibnu Rajab wafat 795 H

10. Ulama Generasi Akhir :

Ash-Shan’ani wafat 1182 H
Muhammad bin Abdul Wahhab wafat 1206 H
Muhammad Shiddiq Hasan Khan wafat 1307 H
Al-Mubarakfuri wafat 1353 H
Abdurrahman As-Sa`di wafat 1367 H
Ahmad Syakir wafat 1377 H
Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh wafat 1389 H
Muhammad Amin Asy-Syinqithi wafat 1393 H
Muhammad Nashiruddin Al-Albani wafat 1420 H
Abdul Aziz bin Abdillah Baz wafat 1420 H
Hammad Al-Anshari wafat 1418 H
Hamud At-Tuwaijiri wafat 1413 H
Muhammad Al-Jami wafat 1416 H
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin wafat 1423 H
Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i wafat 1423 H
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidhahullah
Abdul Muhsin Al-Abbad hafidhahullah
Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafidhahullah
mereka semua mati pasti meninggalkan kitab kitab, setidaknya pendapat mereka bisa jdi buat acuan hukum walaupun hukum yg sah hrus quran dan hadis disertai bukti sanad...

coba anda bandingkan seberapa jauh masa imam safii,hambali,maliki hanafi dll dg mulainya pembukuan hadis hadis yaitu masa imam bukhori imam muslim dll jdi klu mau cari pendapat setidaknya lebih bagus yg mendekati masa dengan nabi...tpi klu buat hukum kita harus dg quran dan hadis disertai bukti sanad...
tapi klu gk ngambil pendapatnya para mazhab 4 tadi maka YG SEHARUSNYA WAJIB DITEGAKKAN MALAH DITINGALKAN, berarti tidak menegakkan suatu pendapatya para mazhab tadi yg jelas2 dg tegas diwajibkan berislam dg berjamaah, sedangkan dia para mazhab 4 tadi dia pendapatnya perintah wajib bahwa orang islam harus bermusawaroh lalu mengangkat keimaman/ berjamaah lalu ada imamya lalu di taati, sebab imam mazhab 4 tadi(imam safii hambali maliki hanafi) mereka mewajibkan bahwa orang ISLAM WAJIB BERMUSAWAROH LALU BENTUK JAMAAH KEMUDIAN NGANGAKAT IMAM DAN DITAATI. dan pendapatnya imam mazhab 4 tadi jugak senada ama pendapatnya sahabat nabi yaitu umar bin khotob ra berkata tidak ada islam kecuali dg berjamaah dan tidak ada jamaah kecuaali dg keimaman dan tidak ada keimaman kecuali dg ketoatan , jdil pendapatnya para mazhap 4 tadi dan jugak pendapatnya umar bin khotob ini jugak sesuwai dg hukum islam berdasarkan quran dan sabda nabi Kewajipan tersebut didasarkan pada nas-nas al-Qur`an, as-Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas.
Apa Hukumnya Mendirikan Khilafah?

Kewajipan tersebut didasarkan pada nas-nas al-Qur`an, as-Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas. Dalam al-Qur`an Allah SWT berfirman:

“Dan berpeganglah kalian semuanya dengan tali (agama) Allah Dengan Berjama'ah, dan janganlah kalian bercerai berai…” (TMQ. Ali-’Imran [3]: 103).

Rasulullah SAW dalam masalah persatuan umat ini bersabda: “Barangsiapa mendatangi kalian - sedang urusan (kehidupan) kalian ada di bawah kepemimpinan satu orang (Imam/Khalifah) - dan dia hendak memecah belah kesatuan kalian dan mencerai-beraikan jemaah kalian, maka bunuhlah dia!” [HR. Muslim].

Rasulullah SAW bersabda: “Jika dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” [HR. Muslim].

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksima mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu.” [HR. Muslim].

Di samping itu, Rasulullah SAW menegaskan pula dalam perjanjian antara kaum Muhajirin - Anshar dengan Yahudi: “Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Surat Perjanjian ini dari Muhammad - Nabi antara orang-orang beriman dan kaum muslimin dari kalangan Quraisy dan Yatsrib - serta yang mengikut mereka dan menyusul mereka dan berjihad bersama-sama mereka - bahawa mereka adalah umat yang satu, di luar golongan orang lain...” (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, Jilid II, hal. 119).

Nas-nas al-Qur`an dan as-Sunnah di atas menegaskan adanya kewajipan bersatu bagi kaum muslimin atas dasar Islam (hablullah) - bukan atas dasar kebangsaan atau ikatan palsu lainnya yang dicipta penjajah yang kafir - di bawah satu kepemimpinan, iaitu seorang Khalifah. Dalil-dalil di atas juga menegaskan keharaman berpecah-belah, di samping menunjukkan pula jenis hukuman syar’ie bagi orang yang berupaya memecah-belah umat Islam menjadi beberapa negara, iaitu hukuman mati.

Selain al-Quran dan as-Sunnah, Ijma’ Sahabat pun menegaskan pula prinsip kesatuan umat di bawah kepemimpinan seorang Khalifah. Abu Bakar Ash Shiddiq suatu ketika pernah berkata,”Tidak halal kaum muslimin mempunyai dua pemimpin (Imam).” Perkataan ini didengar oleh para Sahabat dan tidak seorang pun dari mereka yang mengingkarinya, sehingga menjadi ijma’ di kalangan mereka.

Bahkan sebahagian fuqoha menggunakan Qiyas 'sumber hukum keempat' untuk menetapkan prinsip kesatuan umat. Imam Al Juwaini berkata,”Para ulama kami (mazhab Syafi’i) tidak membenarkan akad Imamah (Khilafah) untuk dua orang…Kalau terjadi akad Khilafah untuk dua orang, itu sama halnya dengan seorang wali yang menikahkan seorang perempuan dengan dua orang laki-laki!”

Ertinya, Imam Juwaini mengqiyaskan keharaman adanya dua Imam bagi kaum muslimin dengan keharaman wali menikahkan seorang perempuan dengan dua orang lelaki yang akan menjadi suaminya. Jadi, Imam/Khalifah untuk kaum muslimin wajib hanya satu, sebagaimana wali hanya boleh menikahkan seorang perempuan dengan satu orang laki-laki, tidak boleh lebih. (Lihat Dr. Muhammad Khair, Wahdatul Muslimin fi Asy Syari’ah Al Islamiyah, majalah Al Wa’ie, hal. 6-13, no. 134, Rabi’ul Awal 1419 H/Julai 1998 M)

Jelaslah bahawa kesatuan umat di bawah satu Khilafah adalah satu kewajipan syar’i yang tak ada keraguan lagi padanya. Kerana itu, tidak menghairankan bila para imam-imam mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bersepakat bulat bahawa kaum muslimin di seluruh dunia hanya boleh mempunyai satu orang Khalifah saja, tidak boleh lebih:

“...para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- bersepakat pula bahawa kaum mulimin di seluruh dunia pada saat yang sama tidak dibenarkan mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat mahupun tidak.” (Lihat Syaikh Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416) Hukum menegakkan Khilafah itu sendiri adalah wajib, tanpa ada perbezaan pendapat di kalangan imam-imam mazhab dan mujtahid-mujtahid besar yang alim dan terpercaya.

Siapapun yang menelaah dalil-dalil syar’ie dengan cermat dan ikhlas akan menyimpulkan bahawa menegakkan Daulah Khilafah hukumnya wajib atas seluruh kaum muslimin. Di antara argumentasi syar’ie yang menunjukkan hal tersebut.


Dalil Al-Quran

Di dalam al-Quran memang tidak terdapat istilah Daulah yang bererti negara. Tetapi di dalam al-Quran terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/negara (ulil amri) dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian.” (TMQ. An-Nisaa` [4]: 59).

Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk mentaati Ulil Amri, iaitu Al Haakim (Penguasa). Perintah ini, secara dalalatul iqtidha`, bererti perintah pula untuk mengadakan atau mengangkat Ulil Amri itu, seandainya Ulil Amri itu tidak ada, sebab tidak mungkin Allah memerintahkan kita untuk mentaati pihak yang eksistensinya tidak ada. Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk mentaati seseorang yang keberadaannya berhukum mandub.

Maka menjadi jelas bahawa mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri, bererti Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Sebab adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajipan menegakkan hukum syara’, sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya hukum syara’. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, kerana kalau tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, iaitu mengabaikan hukum syara’ (tadhyii’ al hukm asy syar’ie).

Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengatur urusan kaum muslimin berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT:

“Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (TMQ. Al-Ma’idah [5]: 48).

“Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu” (TMQ. Al-Ma’idah [5]: 49).

Dalam kaedah usul fiqh dinyatakan bahawa, perintah (kitab) Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah (Kitabur rasuli kitabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada Rasulullah SAW.

Oleh kerana itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, iaitu berlaku pula bagi umat Islam. Dan menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak mempunyai makna lain kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan (as sultan), sebab dengan pemerintahan itulah hukum-hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara untuk menjalankan semua hukum Islam, iaitu negara Khilafah.


Dalil As-Sunah

Abdullah bin Umar meriwayatkan, “Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, nescaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’ah (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” [HR. Muslim].

Nabi SAW mewajibkan adanya bai’at pada leher setiap muslim dan mensifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadis ini menunjukkan kewajipan mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap muslim. Sebab bai’at baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah.

Rasulullah SAW bersabda: “Bahawasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung.” [HR. Muslim]

Rasulullah SAW bersabda: “Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak.” Para Sahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajipan mereka.” [HR. Muslim].

Rasulullah SAW bersabda: “Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” [HR. Muslim].

Hadis pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah SAW bahawa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahawa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin. Pernyataan Rasulullah SAW bahawa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya faedah-faedah keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan larangan (an nahy); dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan (thalab al fi’li). Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara’ atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu bererti bersifat pasti (fardu). Jadi hadis pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab tanpa Khilafah banyak hukum syara’ akan terabaikan.

Hadis ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak, membangkang) dari penguasa (as sulthan). Bererti keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab kalau tidak wajib tidak mungkin Nabi SAW sampai begitu tegas menyatakan bahawa orang yang memisahkan diri dari Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa mendirikan pemerintahan bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib.

Rasulullah SAW bersabda pula : “Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu.” [HR. Muslim].

Dalam hadis ini Rasululah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini bererti perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, iaitu Imam atau Khalifah. Sebab kalau tidak wajib, nescaya tidak mungkin Nabi SAW memberikan perintah yang begitu tegas untuk memelihara eksistensinya, iaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut kekuasaan Khalifah.

Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya Khalifah bagi kaum muslimin.


Dalil Ijma’ Sahabat

Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Sahabat menunjukkan bahawa mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ridlwanullah ‘alaihim.

Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah, nampak jelas dalam kejadian bahawa mereka menunda kewajipan menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajipan dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata sebahagian di antaranya justeru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebahagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajipan menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajipan mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.

Demikian pula bahawa seluruh Sahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai kewajipan mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbezaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah SAW mahupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh kerana itu Ijma’ Sahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajipan mengangkat Khalifah.


Dalil Dari Kaedah Syar’iyah

Ditilik dari analisis usul fiqh, mengangkat Khalifah juga wajib. Dalam usul fiqh dikenal kaedah syar’iyah yang disepakati para ulama:

“Sesuatu kewajipan yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya.” Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam segala aspeknya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Maka dari itu, berdasarkan kaedah syar’iyah tadi, eksistensi Khilafah hukumnya menjadi wajib.

Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam tadi menunjukkan bahawa menegakkan Daulah Khilafah merupakan kewajipan dari Allah SWT atas seluruh kaum muslimin.


Pendapat Para Ulama

Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416:

“Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) rahimahumullah telah sepakat bahawa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahawa umat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya...”

Tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah 'termasuk Khawarij dan Mu’tazilah' tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu ditolak, kerana bertentangan dengan nas-nas syara’ yang telah jelas.

Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 menyatakan: “Menurut golongan Syiah, minoriti Mu’tazilah, dan Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’.” Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan: “Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah).”

Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416:

“Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) rahimahumullah telah sepakat bahawa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahawa umat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya...”

Tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah 'termasuk Khawarij dan Mu’tazilah' tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu ditolak, kerana bertentangan dengan nas-nas syara’ yang telah jelas.

Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 menyatakan: “Menurut golongan Syiah, minoriti Mu’tazilah, dan Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’.” Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan: “Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah).”

sesunguhnya sesudahku tidk ada nabi akan tetapi akn ada beberapa amir amir maka bertambah banya, ada sahabat bertanya ya nabiapa yg engkau perintah jika saya menjumpai demikian..nabi saw menjawab "tetapilah bai'atmu yg awal..(HR BUKHORI dan MUSLIM)
padahal jika kita udah tau ada keamiran berdiri atau sudah diangkat kita suruh menyatu ama mereka sbgmana nabi bersabda "jika kamu melihat adanya keamiran, maka menyatulah" (HR TABRANI).
Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’ah (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” [HR. Muslim].
Imam Ibnu Hazm menyebutkan bahwa, “Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan wajibnya Imamah [Khilafah]…” (Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78)

Khusus dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah, Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menyebutkan,”Para imam mazhab yang empat [Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad] rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu, dan bahwa kaum muslimin itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yang dizalimi dari orang zalim. Mereka juga sepakat bahwa kaum muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia, tidak boleh mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat atau bertentangan.” (Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78)


Dalil lain dari As Sunnah misalnya sabda Nabi SAW :

“Jika ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka untuk menjadi amir (pemimpin).” (HR Abu Dawud).

Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika Islam mewajibkan pengangkatan seorang amir (pemimpin) untuk jumlah yang sedikit (tiga orang) dan urusan yang sederhana (perjalanan), maka berarti Islam juga mewajibkan pengangkatan amir (pemimpin) untuk jumlah yang lebih besar dan untuk urusan yang lebih penting. (Ibnu Taimiyah, Al Hisbah, hlm. 11).

Dengan demikian, untuk kaum muslimin yang jumlahnya lebih dari satu miliar seperti sekarang ini, dan demi urusan umat yang lebih penting dari sekedar perjalanan, seperti penegakan hukum Syariah Islam, perlindungan umat dari penjajahan dan serangan militer kafir penjajah, maka mengangkat seorang Imam (Khalifah) adalah wajib hukumnya.

Adapun dalil Ijma’ Shahabat, telah disebutkan oleh para ulama, misalnya Ibnu Khaldun sebagai berikut :

“Mengangkat seorang imam (khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya dapat diketahui dalam Syariah dari ijma’ (kesepakatan) para shahabat dan tabi’in…” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 191).

Imam Ibnu Hajar Al Haitami berkata :

“Ketahuilah juga, bahwa para shahabat -semoga Allah meridhai mereka- telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban paling penting ketika mereka menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan meninggalkan kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW.” (Ibnu Hajar Al Haitami, As Shawa’iqul Muhriqah, hlm. 7).

Adapun dalil Qaidah Syar’iah, adalah kaidah yang berbunyi :

“Jika suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”

Sudah diketahui bahwa terdapat kewajiban-kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna oleh individu, seperti kewajiban melaksanakan hudud, seperti hukuman had bagin pelaku zina dalam QS An Nuur: 2; atau hukuman had bagi pencuri dalam QS Al Maidah: 38, kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Kewajiban-kewajiban ini tak dapat dan tak mungkin dilaksanakan secara sempurna oleh individu, sebab kewajiban-kewajiban ini membutuhkan suatu kekuasaan (sulthah), yang tiada lain adalah Khilafah. Maka kaidah syariah di atas juga merupakan dalil wajibnya Khilafah. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49).

Dalil As Sunnah, banyak sekali, antara lain sabda Nabi SAW :

“Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah), maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR Muslim, no 1851).

Dalalah (penunjukkan makna) dari hadis di atas jelas, bahwa jika seorang muslim mati jahiliyyah karena tidak punya baiat, berarti baiat itu wajib hukumnya. Sedang baiat itu tak ada kecuali baiat kepada seorang imam (khalifah). Maka hadis ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) itu wajib hukumnya. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.)
Imam Tidak Harus Orang Quraiys saja

Dari Jabir bin Samurah dia berkata, Nabi bersabda: Tidak henti-hentinya perkara (keamiran) ini senantiasa Berjaya hingga 12 Khalifah, Jabir berkata kemudian Nabi bersabda yang aku tidak dapat memahaminya maka aku bertanya pada ayahku, apakah yang disabdakan Nabi ? ayahku berkata: kesemuanya mereka orang Quraisy. HR. Muslim: 3396.

Diantara bantahan golongan “kaum salafi” tentang keamiran adalah: Imam harus orang Quraisy, kalau bukan orang Quraisy tidak sah, berdasarkan dalil;


Jawab; Kalau benar-benar kita cermati dalil di atas maka akan dapat kita jumpai bahwa maksud sabda Nabi tersebut hanyalah untuk menyanjung keutamaan orang Quraisy semata’ bukan dalam konteks bahwa imam harus orang Quraisy, sebab jaka difahami seperti itu (bahwa Amir harus orang Quraisy) maka kedudukan Hadist tersebut jelas bertentangan dengan dalil yang di atasnya (lebih kuat) yaitu;
Dalil pertama, firman Allah
Artinya : "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kami di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" Qs. Al-Hujurat : 13

Keterangan; Ayat di atas mengandung pesan bahwa kedudukan manusia di mata Allah sama tidak ada yang lebih unggul karena kesukuannya (Allah tidak diskriminasi terhadap makhluq ciptaannya walaupun Allah mempunyai hak untuk melakukannya) yang membuat menusia berbeda di sisi Allah hanyalah tingkat ketakwaannya.

Dalil kedua, firman Allah;
Artinya : "Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui".Qs. Saba’ : 28

Keterangan: Ayat di atas mengandung pesan bahwa Islam yang dibawa oleh Muhammad bukan hanya untuk orang Quraisy tapi untuk seluruh umat manusia

Dalil ketiga, sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ;

Tetapilah oleh kalian ketaatan walaupun (yang jadi imam) hamba Habsyi, sesungguhnya orang iman seperti unta yang diberi kendali hidungnya kemana saja dia dituntun akan mengikuti. HR. Ibnu Majah : 43 (tahqiq Al-Albani : Shahih)

Keterangan; Dari hadist diatas Rasulullah telah mengisyaratkan bahwa siapa saja dari suku apapun dia berpeluang untuk diangkat menjadi imam tidak harus orang Quraisy, dan ketika dia jadi imam harus di taati.

Dalil ke empat Hadist Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

Rasulullah berkhutbah di Mina pada pertengahan hari tasyriq saat itu beliau di atas untanya, beliau bersabda : "Wahai manusia ingatlah sesungguhnya Tuhan kalian itu satu, bapak kalian itu satu, ingatlah tidak ada keutamaan orang Arab mengalahkan A’jam, dan tidak ada keutamaan orang A’jam mengalahkan orang Arab, dan tidak ada keutamaan orang kulit Hitam mengalahkan orang kulit merah, tidak ada keutamaan orang kulit merah mengalahkan orang kulit hitam, melainkan dengan sebab ketaqwa’an, Sudahkah aku menyampaikan ? mereka menjawab; Iya, beliau bersabda lagi; ingatlah hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir". At-Thabari (QS. Al-Hujurat : 13)
Keterangan; Pada Hadist ini Nabi menegaskan semua manusia sama yang membedakan kemuliaannya hanyalah ketaqwaan semata.
Dalil keemapat Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam;
"Orang-orang Bani Israil dahulu diurusi oleh para Nabi, ketika seorang Nabi wafat maka di gantikan oleh Nabi yang lain, sesungguhnya tidak ada Nabi lagi sesudahku dan yang ada adalah para Khalifah (imam yang dibai'at) dan jumlah mereka akan banyak, meraka bertanya apakah yang anda perintahkan kepada kami ? Nabi bersabda tetapilah oleh kalian bai'at kepada imam yang pertama kali dibai'at, berikan pada mereka hak mereka, sesungguhnya Allah akan menanyakan kepada mereka dari apa yang Allah telah menjadikan mereka sebagai penggembala." HR Al-Bukhari : 3196

Keterangan hadits diatas menyebutkan bahwa setelah Nabi wafat yang memimpin umat ini adalah para khalifah / imam yang dibaiat dan jumlahnya banyak ketika sahabat bertanya apa yang harus kami lakukan, Nabi menjawab tetapilah baiat kepada imam yang pertama kali dibaiat, dengan kata lain bergabunglah dengan jamaah yang paling awal, Nabi tidak menjawab tetapilah pada baiatnya Imam Quraisy.
dalil kelima, peristiwa di Saqifah bani Sa’id setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seseorang yang mewakili golongan Anshar berkata :

“Saya adalah orang yang senangtiasa dimintai pendapat (bijaksana) dari golongan kami (Anshar) mengangkat amir sendiri dan kalian (Muhajir) mengangkat amir sendiri wahai golongan Quraisy”. HR Al-Bukhari : 6328
Dari hadits di atas jelas sekali kaum Anshar berencana akan membaiat amir dari golongan mereka sendiri padahal orang Anshar bukanlah orang Quraisy, akan tetapi mustahil jika orang-orang Anshar yang sangat taat dan loyal kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan berani “mengingkari wasiat” beliau bahwa imam “harus” orang Quraisy, jika memang adanya begitu, ataukah orang-orang “salafi” ini menganggap orang-orang Anshar jahil masalah agama dan tidak termasuk golongan Salafus Shalih, dan guru mereka (salafi) lebih arif berbanding sahabat Nabi dari golongan Anshar ?

Dalil-dalil di atas telah menjadi indikasi yang jelas, menunjukkan bahwa; dalil “Amir Quraisy” adalah Muawiyah dan musuh bebuyutannya yaitu kaum Syiah yang juga menjadikan hadits tersebut sebagai propaganda bahwa imam atau amir yang sah adalah berjumlah dua belas kesemuanya Ahlul Bait (keluarga Nabi) dari golongan mereka dan yang pasti orang Quraisy.
Kesimpulan; Setelah meneliti kembali keberadaan ‘Amir Quraisy” dan dibandingkan dalil-dalil yang lain maka dapat diambil kesimpulan bahwa;
Hadits “keamiran Orang Quraisy” hanya berupa sanjungan Nabi akan banyaknya orang-orang Quraisy yang berbakat menjadi pemimpin, tapi bukan berarti pemimpin / imam wajib orang Quraisy, sama halnya di Indonesia saat ini yang jadi Presiden Indonesia dari dulu hingga saat ini adalah dari suku Jawa karena kebetulan banyak orang-orang yang berbakat menjadi pemimpin berasal dari suku Jawa tapi bukan berarti Presiden Indonesia harus orang Jawa.
Dalil ntersebut telah disalah artikan kemudian dipolitisirkan dan dijadikan alat propaganda bagi sebagian orang yang berkepentingan pada kekuasaan, bahkan oleh dua kelompok yang sangat bermusuhan yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan dan golongan Syiah.
Muawiyah menjadikan hadits tersebut sebagai propaganda untuk melindungi kekuasaannya dan para kroninya yang sangat korup dan hidup berfoya-foya dalam kemewahan dunia ketika secara halus disindir oleh sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikenal sangat zuhudnya yaitu Abdullah bin Amr (Abdullah bin Amr ini sahabat Nabi yang sangat zuhud dan banyak keutamaannya, dialah sahabat yang kesungguhannya dalam ibadah puasa dan qiamul lailnya sangat luar biasa sehingga distop oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau perintah agar Abdullah mengurangi ibadahnya, dan dialah salah satu sababul wurud dari hadits tentang puasa sunnah Nabi Dawud, akan tetapi dalam banyak hal Abdullah bin Amr berbeda pendapat dengan ayahnya sendiri yaitu Amr bin Ash yang sejak Jahiliyah bahu membahu dengan ayah Muawiyah yaitu Abu Sufyan di dalam memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabt, setelah dia masuk Islam tepatnya ketika Muawiyah memberontak atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, Amr bin Ash menjadi pengikut sekaligus pembela yang sangat setia bagi Muawiyah) dia berkata yang maksudnya adalah; Kalau orang-orang Quraisy yaitu; Muawiyah dan kroni-kroninya yang jadi penguasa tidak menghentikan kemaksiatan dan kesewenang-wenangannya maka Allah akan memindahkan keamiran pada bangsa Qahthan. Muawiyah menganggap sindiran Abdullah bin Amr kalau dibiarkan bisa menjadi ancaman bagi kekuasaannya. Islam ini bukan agama khusus untuk orang Quraisy melainkan untuk semua umat manusia, terdapat dalil-dalil shahih yang membuktikannya, jadi isu Quraisy atau bukan Quraisy itu bukan perkara besar dan tidak menyangkut sah atau tidaknya keamiran, yang pasti adalah bahwa beragama Islam wajib dengan berjamaah dan berjamaah wajib dengan mempunyai imam / amir.


lalu siapakah goloongan Islam dengan berjamaah itu...?
“Al-Jamaah: Iaitu yang serupa dengan apa yang ada pada diriku dan para sahabatku”(HR TIRMIZI)

“Al-Jamaah: Ia adalah yang berada di atas contoh (seperti) apa-apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya pada hari ini"(AS SHAHIH no . 203 dan 1492)

''Akan berpecah umatku kepada 73 firqah, hanya satu ke syurga dan 72 ke neraka. Baginda ditanya: Siapa mereka? Baginda bersabda: Al-Jamaah
“Al-Jamaah ialah sesiapa yang seperti aku hari ini dan para sahabatku"
jd golongan Al-Jamaah itu adalah...
''Mengumpulkan atau menyatu-padukan yang berpecah-belah (bercerai-berai)
Bersatu dan lawannya berpecah-belah,Perkumpulan manusia yang bersatu untuk tujuan yang sama yakni
Setiap Umat Islam yang bersatu di bawah satu amir Islam'' (HR BUKHORI TABRANI Fathul Bari 13/38)
''sesunguhnya sesudahku tidk ada nabi akan tetapi akn ada beberapa amir amir maka bertambah banyak, ada sahabat bertanya ya nabi apa yg engkau perintah jika saya menjumpai demikian amir2 banyak?..nabi saw menjawab "tetapilah bai'atmu/jamaahmu yg awal..(HR BUKHORI dan MUSLIM). ''

''Akan berpecah umatku kepada 73 firqah, hanya satu ke syurga dan 72 ke neraka. Baginda ditanya: Siapa mereka? Baginda bersabda: Al-Jamaah “ jd golongan aljamaah itu ialah "Setiap Umat Islam yang bersatu di bawah satu amir Islam'' (HR BUKHORI TABRANI Fathul Bari 13/38)

"barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’ah (kepada imam/ Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” [HR. Muslim].

"barangsiapa yg mati tampa dg aljamaah maka di mati dlm keadaan mati jahiliah( HR TABRANI).

''BARANG SIAPA YG INGIN MENGHENDAKI DI TENGAH TENGAHNYA SORGA MAKA MENETAPILAH ALJAMA'AH'' (HR TIRMIDZI ) ''

''BARANG SIAPA YG INGIN MENGHENDAKI DI TENGAH TENGAHNYA SORGA MAKA MENETAPILAH ALJAMA'AH'' (HR TIRMIDZI )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENYAKIT HATI [KAGUM DIRI, MERASA POL DEWE]

    Kagum diri dapat diartikan suatu penyakit hati yang membuat seseorang merasa bahagia dengan pujian dari orang lain dan merasa diri...