Allah berfirman: “Maka dengan nikmat Tuhan kalian yang
manakah yang bisa kalian dustakan?” (Ar-Rahmaan: 16) Ayat ini diulang
berkali – kali dalam surat Ar-Rahmaan. Ketika membacanya sering dua
mata ini mengalir tanpa sadar. Banyak kekurangan dalam diri ini dalam
masalah bersyukur. Dan tentu kekhawatiran bila termasuk dalam golongan
orang yang mendustakan nikmat – kurang bersyukur kepada Allah.
Dikisahkan, Nabi Musa AS memiliki umat yang jumlahnya
sangat banyak dan umur mereka panjang-panjang. Ada golongan yang kaya
dan ada juga golongan yang miskin. Suatu hari ada seorang yang miskin
datang menghadap Nabi Musa AS. Ia kelihatan begitu miskin, pakaiannya
compang-camping dan sangat lusuh lagi berdebu. Si miskin itu kemudian
berkata kepada Nabi Musa AS, “Ya Nabi Allah, tolong sampaikan kepada
Allah SWT permohonanku ini, agar Allah SWT menjadikan aku orang yang
kaya.”
Nabi Musa AS tersenyum dan berkata kepada orang itu, “Saudaraku,
banyak-banyaklah kamu bersyukur kepada Allah SWT. Si miskin itu agak
terkejut dan kesal, lalu ia berkata, ” Bagaimana aku mau banyak
bersyukur, sedangkan aku jarang dapat makan, dan pakaian yang aku
gunakan pun hanya satu pasang ini saja! “Akhirnya si miskin itu pulang
tanpa mendapatkan apa yang diinginkannya.
Tidak lama kemudian ada seorang kaya datang menghadap Nabi Musa AS.
Orang tersebut bersih badannya, juga rapi pakaiannya. Ia berkata kepada
Nabi Musa AS, “Wahai Nabi Allah, tolong sampaikan kepada Allah SWT
permohonanku ini, agar dijadikannya aku ini seorang yang miskin. Kadang
kala aku merasa terganggu dengan hartaku itu.”
Nabi Musa AS pun tersenyum, lalu ia berkata, “Wahai saudaraku, jangan begitu, teruslah kamu bersyukur kepada Allah SWT.”
“Ya Nabi Allah, bagaimana aku tidak bersyukur kepada Allah SWT?. Allah
SWT telah memberiku mata yang dengannya aku dapat melihat. Telinga yang
dengannya aku dapat mendengar. Allah SWT telah memberiku tangan yang
dengannya aku dapat bekerja dan telah memberiku kaki yang dengannya aku
dapat berjalan, bagaimana mungkin aku tidak mensyukurinya”, jawab si
kaya itu. Akhirnya si kaya itu pun pulang ke rumahnya.
Kemudian yang terjadi adalah si kaya itu semakin Allah SWT tambah
kekayaannya kerana ia selalu bersyukur. Dan si miskin menjadi bertambah
miskin. Allah SWT mengambil semua kenikmatan-Nya sehingga si miskin
itu tidak memiliki selembar pakaian pun yang melekat di tubuhnya. Ini
semua karena ia tidak mau bersyukur kepada Allah SWT. Jelas beda antara
bersyukur dan tidak bersyukur.
Di belahan bumi yang lain, suatu hari dalam sebuah perjalanan bus antar
kota Semarang - Yogyakarta, ada seorang ibu menggendong bayinya
menyetop bus yang sudah penuh sesak. Sayangnya, sepanjang perjalanan,
bayi itu terus - menerus menangis hingga mengganggu semua penumpang.
Entah setan mana yang membisiki hati semua penumpang dan awak bus,
tega-teganya mereka sepakat menurunkan ibu dan bayi dalam gendongannya
di di tengah jalan. Sebab mereka merasa dengan menurunkan ibu dan
bayinya bisa meneruskan perjalanan dengan tenang.
Dengan tertatih - tatih si ibu berdiri di pinggir jalan mencoba
menyetop kendaraan yang lewat. Setelah mendapatkan tumpangan dan
berjalan beberapa kilometer, tiba-tiba jalanan macet luar biasa. Rupanya
ada kecelakaan maut yang merenggut nyawa seluruh penumpang sebuah bus
di depan. Ketika kendaraan yang dinaiki ibu itu melewati bus maut
tersebut, terkesiaplah dia. Rupanya bus yang hancur dan penumpangnya
tewas itu adalah bus yang tadi dinaikinya, dimana dia diturunkan oleh
awak bus itu di tengah jalan gara-gara tangis bayinya. Rupanya Allah SWT
memberi kasih sayangnya lewat tangisan bayinya dan melepaskannya dari
maut. Tak henti-hentinya dia bersykur kepada Allah SWT. Apa jadinya
bila dia tadi masih tetap ada di bus itu ? Tiada kata yang lebih indah
daripada bersyukur.
Di suatu tempat aku dan sahabatku berbincang-bincang : “Ya…aku mengerti
apa yang kau alami, tidak hanya kamu akupun sendiri pernah mengalami
dan mungkin banyak orang lainnya. Sekarang aku akan ambil satu kertas
putih kosong dan aku tunjukkan padamu, apa yang kamu lihat ?”, ucapku
lirih.
“Aku tidak melihat apa-apa semuanya putih”, jawabnya lirih. Sambil
mengambil spidol hitam dan membuat satu titik ditengah kertasnya, aku
berkata “Nah..sekarang aku telah beri sebuah titik hitam di atas kertas
itu, sekarang gambar apa yang kamu lihat?”.
“Aku melihat satu titik hitam”, jawab sahabatku dengan cepat.
“Pastikan lagi !”, timpalku.
“Titik hitam”, jawab sahabatku dengan yakin.
“Sekarang aku tahu penyebab masalahmu. Kenapa engkau hanya melihat
satu titik hitam saja dari kertas tadi? Cobalah rubah sudut -
pandangmu, menurutku yang kulihat bukan titik hitam, tapi tetap sebuah
kertas putih meski ada satu noda didalamnya. Aku melihat lebih banyak
warna putih dari kertas tersebut sedangkan kenapa engkau hanya melihat
hitamnya saja dan itu pun hanya setitik ?”. Jawabku dengan lantang,
“Sekarang mengertikah kamu ?, Dalam hidup, bahagia atau tidaknya
hidupmu tergantung dari sudut pandangmu memandang hidup itu sendiri.
Jika engkau selalu melihat titik hitam tadi yang bisa diartikan
kekecewaan, kekurangan dan keburukan dalam hidup, maka hal-hal itulah
yang akan selalu hinggap dan menemani dalam hidupmu, sepanjang waktu”.
“Cobalah fahami, bukankah disekelilingmu penuh dengan warna putih, yang
artinya begitu banyak anugerah yang telah diberikan oleh Tuhan kepada
kamu, kamu masih bisa melihat, mendengar, membaca, berjalan, fisik yang
utuh dan sehat, anak yang lucu-lucu dan begitu banyak kebaikan dari
istrimu daripada kekurangannya, berapa banyak suami-suami yang
kehilangan istrinya ? Juga begitu banyak kebaikan dari pekerjaanmu
dilain sisi banyak orang yang antri dan menderita karena mencari
pekerjaan. Begitu banyak orang yang lebih miskin bahkan lebih kekurangan
daripada kamu, kamu masih memiliki rumah untuk berteduh, aset sebagai
simpananmu di hari tua, tabungan , asuransi dan teman-teman yang baik
yang selalu mendukungmu. Kenapa engkau selalu melihat sebuah titik hitam
saja dalam hidupmu ?”
Sudut pandang sangat berpengaruh terhadap cara bagaimana kita bisa bersyukur.
Suatu ketika di ruang kelas sekolah menengah, terlihat suatu percakapan
yang menarik. Seorang Pak Guru, dengan buku di tangan, tampak
menanyakan sesuatu kepada murid-muridnya di depan kelas. Sementara itu,
dari mulutnya keluar sebuah pertanyaan. ”Anak-anak, kita sudah hampir
memasuki saat-saat terakhir bersekolah di sini. Setelah 3 tahun,
pencapaian terbesar apa yang membuat kalian bahagia? Adakah hal-hal
besar yang kalian peroleh selama ini?”
Murid-murid tampak saling pandang. Terdengar suara lagi dari Pak Guru,
”Ya, ceritakanlah satu hal terbesar yang terjadi dalam hidup kalian...”
Lagi-lagi semua murid saling pandang, hingga kemudian tangan Pak Guru
itu menunjuk pada seorang murid.
”Nah, kamu yang berkacamata, adakah hal besar yang kamu temui? Berbagilah dengan teman-temanmu...”
Sesaat, terlontar sebuah cerita dari si murid, ”Seminggu yang lalu,
adalah saat-saat yang sangat besar buat saya. Orang tua saya, baru saja
membelikan sebuah motor, persis seperti yang saya impikan selama ini.”
Matanya berbinar, tangannya tampak seperti sedang menunggang sesuatu.
”Motor sport dengan lampu yang berkilat, pasti tak ada yang bisa
mengalahkan kebahagiaan itu!”
Pak Guru tersenyum. Tangannya menunjuk beberapa murid lainnya. Maka,
terdengarlah beragam cerita dari murid-murid yang hadir. Ada anak yang
baru saja mendapatkan sebuah mobil. Ada pula yang baru dapat melewatkan
liburan di luar negeri. Sementara, ada murid yang bercerita tentang
keberhasilannya mendaki gunung. Semuanya bercerita tentang hal-hal
besar yang mereka temui dan mereka dapatkan. Hampir semua telah bicara,
hingga terdengar suara dari arah belakang.
”Pak Guru... Pak, saya belum bercerita.”
Rupanya, ada seorang anak di pojok kanan yang luput dipanggil. Matanya
berbinar. Mata yang sama seperti saat anak-anak lainnya bercerita
tentang kisah besar yang mereka punya.
”Maaf, silakan, ayo berbagi dengan kami semua,” ujar Pak Guru kepada murid berambut lurus itu.
”Apa hal terbesar yang kamu dapatkan?” ujar Pak Guru mengulang pertanyaannya kembali.
”Keberhasilan terbesar buat saya, dan juga buat keluarga saya adalah...
saat nama keluarga kami tercantum dalam Buku Telepon yang baru terbit 3
hari yang lalu.”
Sesaat senyap. Tak sedetik, terdengar tawa-tawa kecil yang memenuhi
ruangan kelas itu. Ada yang tersenyum simpul, terkikik-kikik, bahkan
tertawa terbahak mendengar cerita itu.
Dari sudut kelas, ada yang berkomentar, ”Hah? Saya sudah sejak lahir
menemukan nama keluarga saya di Buku Telepon. Buku Telepon? Betapa
menyedihkan... Hahaha...”
Dari sudut lain, ada pula yang menimpali, ”Apa tak ada hal besar lain
yang kamu dapat selain hal yang lumrah semacam itu?” Lagi-lagi
terdengar derai-derai tawa kecil yang masih memenuhi ruangan. Pak Guru
berusaha menengahi situasi ini, sambil mengangkat tangan.
”Tenang sebentar anak-anak, kita belum mendengar cerita selanjutnya.
Silakan teruskan, Nak...” Anak berambut lurus itu pun kembali angkat
bicara. ”Ya, memang itulah kebahagiaan terbesar yang pernah saya
dapatkan. Dulu, Papa saya bukanlah orang baik-baik. Karenanya, kami
sering berpindah-pindah rumah. Kami tak pernah menetap, karena selalu
merasa di kejar polisi.”
Matanya tampak menerawang. Ada bias pantulan cermin dari kedua bola mata anak itu, dan ia melanjutkan.
”Tapi, kini Papa telah berubah. Dia telah mau menjadi Papa yang baik
buat keluarga saya. Sayang, semua itu butuh waktu dan usaha. Tak pernah
ada Bank dan Yayasan yang mau memberikan pinjaman modal buat bekerja.
Hingga setahun lalu, ada seseorang yang rela meminjamkan modal buat Papa
saya. Dan kini, Papa berhasil. Bukan hanya itu, Papa juga membeli
sebuah rumah kecil buat kami. Dan kami tak perlu berpindah-pindah lagi.”
”Tahukah kalian, apa artinya kalau nama keluarga saya ada di Buku
Telepon ? Itu artinya, saya tak perlu lagi merasa takut setiap malam
dibangunkan Papa untuk terus berlari. Itu artinya, saya tak perlu lagi
kehilangan teman-teman yang saya sayangi. Itu juga berarti, saya tak
harus tidur di dalam mobil setiap malam yang dingin. Dan itu artinya,
saya, dan juga keluarga saya, adalah sama derajatnya dengan
keluarga-keluarga lainnya.”
Matanya kembali menerawang. Ada bulir bening yang mengalir. ”Itu
artinya, akan ada harapan-harapan baru yang saya dapatkan nanti...”
Kelas terdiam. Pak Guru tersenyum haru. Murid-murid tertunduk. Mereka
baru saja menyaksikan sebuah fragmen tentang kehidupan. Mereka juga
baru saja mendapatkan hikmah tentang pencapaian besar, dan kebahagiaan.
Mereka juga belajar satu hal : ”Bersyukurlah dan berbahagialah setiap
kali kita mendengar keberhasilan orang lain. Sekecil apapun... Sebesar
apapun...bersyukur bersama – sama.
Cerita dari saudaraku mas teguh
"Intanshurullah Yansurkum (Jika kamu menolong Allah (Agama Allah) maka Allah akan menolongmu)"....
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
PENYAKIT HATI [KAGUM DIRI, MERASA POL DEWE]
Kagum diri dapat diartikan suatu penyakit hati yang membuat seseorang merasa bahagia dengan pujian dari orang lain dan merasa diri...

-
cara membuat widget berita berjalan di bawah blog seperti di TV. Kalau seperti itu 'kan jadi seperti di Tv beneran kan sob~? Langsun...
-
Untuk menentukan kualitas sebuah hadits diperlukan serangkaian penelitian, selain serentetan metodologi (kaidah)...
-
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: من صُنِعَ إليه مَعْرُوفٌ فقال لِفَاعِلِهِ جَزَاكَ الله خَيْرًا فَقَدْ أَب...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar