Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah hadits yang
dapat diyakini kebenarannya. Untuk mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah
karena hadits yang ada sangatlah banyak dan sumbernya pun berasal dari berbagai
kalangan.
A.
DARI SEGI JUMLAH PERIWAYATNYA
Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak
sedikitnya perawi yang menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada garis
besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits mutawatir dan hadits
ahad.
1. Hadits Mutawatir
a.
Ta'rif Hadits Mutawatir
Kata
mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau
berturut-turut antara satu dengan yang lain. Sedangkan menurut istilah
ialah:
"Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka
berkumpul dan bersepakat untuk dusta."
Artinya:
"Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan
sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal
tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat
kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."
Tidak
dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang
diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan
tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala
berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk
bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu
perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu
langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau
orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan
tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana
cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar,
ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan
lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak
atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang
secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin
bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara
mutawatir.
b.
Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu
hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
1.
Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan
tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu
benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-
peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil
tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya,
maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu
mencapai jumlah yang banyak.
2.
Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka
untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah
untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a.
Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan
jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b.
Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan
jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c.
Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan
ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan
uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat
Al-Anfal ayat 65).
d.
Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal
tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:
"Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi
penolongmu)." (QS. Al-Anfal: 64).
3.
Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama
maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti
ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa
hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian
ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada,
tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu
Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu
Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan
sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak
jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada
beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu
al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H),
Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin
Jafar Al-Khattani (1345 H).
c.
Faedah Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni
keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir
karena ia membawa keyakinan yang qath'i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa
Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang
diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian
terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak
diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang
dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap
muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat
tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang
mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan
mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan
pancaindera).
d.
Pembagian Hadits Mutawatir
Para
ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
1.
Hadits Mutawatir Lafzi
Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi
antara lain :
"Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut
para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya."
Pengertian lain hadits mutawatir lafzi adalah
:
"Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh
sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi."
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :
"Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang sengaja
berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di
neraka."
Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai
berikut :
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas
diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju
al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200
sahabat.
2.
Hadits mutawatir maknawi
Hadits mutawatir maknawi adalah :
Artinya :
"Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi
dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum."
Artinya:
"Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa
menghiraukan perbedaan pada lafaz."
Jadi
hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam
menyusun redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam
maknanya.
Contoh :
Artinya :
"Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau
dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa' dan beliau mengangkat tangannya,
sehingga nampak putih- putih kedua ketiaknya." (HR. Bukhari
Muslim)
Hadis
yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari
30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang
ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi
:
Artinya :
"Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua
pundak beliau."
3.
Hadis Mutawatir Amali
Hadis
Mutawatir Amali adalah :
Artinya :
"Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu
berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi
melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan
itu."
Contoh :
Kita
melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4
(empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan
oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya
atau memerintahkannya demikian.
Di
samping pembagian hadis mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang
membagi hadis mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis
mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya
dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.
2.
Hadis Ahad
a.
Pengertian hadis ahad
Menurut Istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara
laian adalah:
Artinya:
"Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak
mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua
orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah
tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis
mutawatir: "
Ada
juga yang memberikan tarif sebagai berikut:
Artinya:
"Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat
mutawatir."
b.
Faedah hadis ahad
Para
ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat'i, sebagaimana hadis mutawatir.
Hadis ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan
penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata
telah diketahui bahwa, hadis tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka
mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadis
mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu
hadis, ialah memeriksa "Apakah hadis tersebut maqbul atau mardud". Kalau maqbul,
boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan
tidak dapat pula kita mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih,
atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan
maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadis itu kita sebut muhkam. Jika
ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya
tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui
mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang
mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.
Jika
kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita
ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah
satunya, bertawaqquflah kita dahulu.
Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan
suatu hadis, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif
adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.
B.
DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIS
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis
bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan
keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu hadis. Bila
dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadis
yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang
diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang
rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh dua orang
rawi.
Jika
dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis
yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya
daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis
yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis
yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.
Artinya :
"Dan
Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami)
pada waktu yang telah kami tentukan."
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang,
bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang pertimbangan bahwa saksi zina
itu ada empat orang.
Kata-kata (dari sejumlah rawi yng semisal dan seterusnya
sampai akhir sanad) mengecualikan hadis ahad yang pada sebagian tingkatannya
terkadang diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir.
Contoh hadis :
Artinya :
"Sesungguhnya amal-amal itu tergantung
niatnya."
Awal
hadis tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir.
Maka hadis yang demikian bukan termsuk hadis mutawatir.
Kata-kata (dan sandaran mereka adalah pancaindera)
seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya.
Misalnya para sahabat menyatakan; "kami melihat Nabi SAW berbuat begini". Dengan
demikian mengecualikan masalah- masalah keyakinan yang disandarkan pada akal,
seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan
pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu
separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah akal
bukan berita.
Bila
dua hadis memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadis yang
matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi
tingkatannya dari hadis yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat
Al- quran. Tingkatan{martabat) hadis ialah taraf kepastian atau taraf dugaan
tentang benar atau palsunya hadis berasal dari Rasulullah.
Hadis
yang tinggi tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf kepastiannya atau
tinggi taraf dugaan tentang benarnya hadis itu berasal Rasulullah SAW. Hadis
yang rendah tingkatannya berarti hadis yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf
dugaan tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya
tingkatan suatu hadis menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadis sebagai sumber
hukum atau sumber Islam.
Para
ulama membagi hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadis sahih, hadis hasan,
dan hadis daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan
rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembagian hadis-hadis tersebut menjadi
hadis sahih, hasan, dan daif.
1.
Hadis Sahih
Hadis
sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yng benar
berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadis sahih, yang diberikan oleh ulama,
antara lain :
Artinya :
"Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak
cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hadis mutawatir, atau ijimak
serta para rawinya adil dan dabit."
Keterangan lebih luas mengenai hadis sahih diuraikan
pada bab tersendiri.
2.
Hadis Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut
Imam Turmuzi hasis hasan adalah :
Artinya :
"yang
kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut
kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak
terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal
diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadis yang demikian
kami sebut hadis hasan."
3.
Hadis Daif
Hadis
daif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan
yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah
SAW.
Para
ulama memberi batasan bagi hadis daif :
Artinya :
"Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun
sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis
hasan."
Jadi
hadis daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih, melainkan
juga tidak memenuhi syarat-syarat hadis hasan. Pada hadis daif itu terdapat
hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut
bukan berasal dari Rasulullah SAW.
C.
DARI SEGI KEDUDUKAN DALAM HUJJAH
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadis perlu
dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan pemhahasan yang seksama khususnya hadis
ahad, karena hadis tersebut tidak mencapai derajat mutawatir. Memang berbeda
dengan hadis mutawatir yang memfaedahkan ilmu darury, yaitu suatu keharusan
menerima secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, hadis ahad ahad
ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam
yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.
a.
Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang
diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul
ialah:
Artinya:
"Hadis yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi
Muhammad SAW menyabdakannya."
Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib
diterima. Sedangkan yang temasuk dalam kategori hadis maqbul
adalah:
*
Hadis sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.
*
Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.
Kedua
macam hadis tersebut di atas adalah hadis-hadis maqbul yang wajib diterima,
namun demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak
semua hadis yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat
hadis-hadis yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau
ketentuan barn yangjugaditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Adapun hadis maqbul yang datang kemudian (yang
menghapuskan)disebut dengan hadis nasikh, sedangkan yang datang terdahulu (yang
dihapus) disebut dengan hadis mansukh. Disamping itu, terdapat pula hadis-hadis
maqbul yang maknanya berlawanan antara satu dengan yang lainnya yang lebih rajih
(lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadis yang kuat disebut dengan hadis
rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadis marjuh.
Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadis
maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni hadis maqbulun bihi dan hadis gairu
ma'mulin bihi.
1.
Hadis maqmulun bihi
Hadis
maqmulun bihi adalah hadis yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadis ini
ialah:
a.
Hadis muhkam, yaitu hadis yang tidak mempunyai perlawanan
b.
Hadis mukhtalif, yaitu dua hadis yang pada lahimya saling berlawanan yang
mungkin dikompromikan dengan mudah
c.
Hadis nasih
d.
Hadis rajih.
2.
Hadis gairo makmulinbihi
Hadis
gairu makmulinbihi ialah hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara
hadis-hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:
a.
Hadis mutawaqaf, yaitu hadis muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak
dapat ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkan
b.
Hadis mansuh
c.
Hadis marjuh.
B.
Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak
diterima. Sedangkan menurut urf Muhaddisin, hadis mardud ialah
:
Artinya:
"Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan
adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi
adanya dengan ketidakadaannya bersamaan."
Ada
juga yang menarifkan hadis mardud adalah:
Artinya:
"Hadis yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadis
Maqbun."
Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama
mewajibkan untuk menerima hadis-hadis maqbul, maka sebaliknya setiap hadis yang
mardud tidak boleh diterima dan tidak boleh diamalkan (harus
ditolak).
Jadi,
hadis mardud adalah semua hadis yang telah dihukumi daif.
D.
DARI SEGI PERKEMBANGAN SANADNYA
1.
Hadis Muttasil
Hadis
muttasil disebutjuga Hadis Mausul.
Artinya:
"Hadis muttasil adalah hadis yang didengar oleh
masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada ujung sanadnya,
baik hadis marfu' maupun hadis mauquf."
Kata-kata "hadis yang didengar olehnya" mencakup pula
hadis-hadis yang diriwayatkan melalui cara lain yang telah diakui, seperti
Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah, Al-Sahihah. Dalam definisi di atas
digunakan kata-kata "yang didengar" karena cara penerimaan demikian ialah cara
periwayatan yang paling banyak ditempuh. Mereka menjelaskan, sehubungan dengan
hadis Mu 'an 'an, bahwa para ulama Mutaakhirin menggunakan kata 'an dalam
menyampaikan hadis yang diterima melalui Al-Ijasah dan yang demikian tidaklah
menafikan hadis yang bersangkutan dari batas Hadis Muttasil.
Contoh Hadis Muttasil Marfu' adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Malik; dari Nafi' dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
Artinya: "Orang yang tidak mengerjakan shalat Asar
seakan-akan menimpakan bencana kepada keluarga dan hartanya"
Contoh hadis mutasil maukuf adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Malik dari Nafi' bahwa ia mendengar Abdullah bin Umar
berkata:
Artinya:
"Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak
boleh menentukan syarat lain kecuali keharusan membayarnya."
Masing-masing hadis di atas adalah muttasil atau mausul,
karena masing-masing rawinya mendengarnya dari periwayat di atasnya, dari awal
sampai akhir.
Adapun hadis Maqtu yakni hadis yang disandarkan kepada
tabi'in, bila sanadnya bersambung. Tidak diperselisihkan bahwa hadis maqtu
termasuk jenis Hadis muttasil; tetapi jumhur mudaddisin berkata, "Hadis maqtu
tidak dapat disebut hadis mausul atau muttasil secara mutlak, melainkan
hendaknya disertai kata-kata yang membedakannya dengan Hadis mausul sebelumnya.
Oleh karena itu, mestinya dikatakan "Hadis ini bersambung sampai kepada Sayid
bin Al-Musayyab dan sebagainya ". Sebagian ulama membolehkan penyebutan hadis
maqtu sebagai hadis mausul atau muttasil secara mutlak tanpa batasan, diikutkan
kepada kedua hadis mausul di atas. Seakan-akan pendapat yang dikemukakan jumhur,
yaitu hadis yang berpangkal pada tabi'in dinamai hadis maqtu. Secara etimologis
hadis maqtu' adalah lawan Hadis mausul. Oleh karena itu, mereka membedakannya
dengan menyadarkannya kepada tabi'in.
2.
Hadis Munqati'
Kata
Al-Inqita' (terputus) berasal dari kata Al-Qat (pemotongan) yang menurut bahasa
berarti memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqita' merupakan akibatnya,
yakni terputus. Kata inqita' adalah lawan kata ittisal (bersambung) dan Al-Wasl.
Yang dimaksud di sini adalah gugurnya sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Para
ulama berbeda pendapat dalam memahami istilah ini dengan perbedaan yang tajam.
Menurut kami, hal ini dikarenakan berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari
masa ulama mutaqaddimin sampai masa ulama mutaakhirin.
Definisi Munqati' yang paling utama adalah definisi yang
dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, yakni:
Artinya:
"Hadis Munqati adalah setiap hadis yang tidak bersambung
sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang
lain."
Hadis
yang tidak bersambung sanadnya adalah hadis yang pada sanadnya gugur seorang
atau beberapa orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan
itu, penyusun Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan:
Artinya:
Setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun
keadannya adalah termasuk Hadis Munqati' (terputus)
persambungannya."
Demikianlah para ulama Mutaqaddimin mengklasifikasikan
hadis, An-Nawawi berkata, "Klasifikasi tersebut adalah sahih dan dipilih oleh
para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr, dan Muhaddis lainnya". Dengan demikian,
hadis munqati' merupakan suatu judul yang umum yangmencakup segala macam hadis
yang terputus sanadnya.
Adapun ahli hadis Mutaakhirin menjadikan istilah
tersebut sebagai berikut:
Artinya:
"Hadis Munqati adalah hadis yang gugur salah seorang
rawinya sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa tempat, dengan catatan
bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih dari seorang dan tidak
terjadi pada awal sanad."
Definisi ini menjadikan hadis munqati' berbeda dengan
hadis-hadis yang terputus sanadnya yang lain. Dengan ketentuan "Salah seorang
rawinya" defnisi ini tidak mencakup hadis mu'dal; dengan kata-kata, "Sebelum
sahabat" definisi ini tidak mencakup hadis mursal; dan dengan penjelasan
kata-kata "Tidak pada awal sanad" definisi ini tidak mencakup hadis
muallaq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar