Senin, 13 Februari 2012

Aplikasi Kritik Sanad & Matan


Untuk menentukan kualitas sebuah hadits diperlukan serangkaian penelitian, selain serentetan metodologi (kaidah) yang digunakan untuk menentukan kualitas sanad-nya, juga digunakan metodologi untuk menentukan kualitas matan, karena kualitas sanad dan matan tidak selalu sejalan.[1] Ada kalanya Sanad-nya shahih akan tetapi matannya mardud. Dengan melakukan penelitian matan dapat diketahui matan sebuah hadits tersebut maqbul atau mardud. Selanjutnya sebagai hasil akhir akan diketahui kualitas hadits tersebut secara keseluruhan baik dilihat dari sanad dan matan-nya. Meskipun penelitian hadits tergolong ijtihadi (relative), namun paling tidak dapat diketahui proses penentuan kualitas hadits tersebut.
Tulisan ini merupakan kompilasi sederhana dua proses yang di satukan dalam satu kesatuan. Berikut teks hadits yang diteliti:
Teks Hadits Sunan Abu Daud, Kitab Al-Buyu’ No. 2987
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ أَيُّوبَ وَهِشَامٌ وَحَبِيبٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اشْتَرَى شَاةً مُصَرَّاةً فَهُوَ بِالْخِيَارِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ طَعَامٍ لَا سَمْرَاء
Telah menceritakan kepada kami Musa Ibn Isma’il, telah menceritakan kepada kami Hummad dari Ayyub dan Hisyam dan Habib dari Muhammad Ibn Sirin, dari Abi Hurairah, Sesungguhnya Saw. bersabda: “Siapa membeli seekor kambing yang ditahan susunya, maka baginya hak pilih [khiyar] selama tiga hari. Kalau suka mengembalikannya, kembalikanlah dengan satu gantang makanan “Buah kurma masak” bukan gandum.”[2]
Takhrij al- Hadits
Dalam penelitian hadits diatas, Takhrij al-Hadits dilakukan dengan bantuan CD Program Mausu’ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah yang didalamnya mencakup Kutub al-Tis’ah (Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i, Sunan Abu Dawud, Sunan Ibn Majah, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, Muwatta’ Malik, dan Sunan al-Darimi) dengan metode menuliskan salah satu lafadz dalam matn Hadits[3] yaitu lafadz شاة مصراة . Setelah dilakukan Takhrij al-Hadits, hadits diatas besumber dari :
  1. al-Bukhari             : Kitab al-Buyu’ no. hadits 2007.
  2. Muslim                  : Kitab al-Buyu’ no. hadits 2802, 2803, 2804, 2805.
  3. at-Tirmizi               : Kitab al-Buyu’ ‘an Rasulullah no. hadits 1172, 1173.
  4. an-Nasa’i               : Kitab al-Buyu’ no. hadits. 4412
  5. Abu Dawud          : Kitab al-Buyu’ no. hadits 2987, 2988.
  6. Ahmad                   : Kitab Baqi Musnad al-Muksirin no. hadits 7211, 7373, 8645, 9192, 9581, 9678, 9849.
  7. Ad-Darimi             : Kitab al-Buyu’ no. hadits 2440.[4]
I’tibar Sanad Dan Kuantitas Periwayat
Setelah melakukan Takhrij al-Hadits, dilakukan I’tibar sanad dengan membuat seluruh skema sanad dari seluruh mukharrij digabung menjadi satu skema sehingga akan diketahui posisi masing-masing periwayat dan lambang periwayatan yang digunakan.[5]
Dari skema sanad diatas dapat dketahui bahwa tidak ada periwayat yang berkedudukan sebagai syahid karena Abu Hurairah (Abdurrahman dalam skema) merupakan satu-satunya sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits. Sedangkan pada tingkatan periwayat ke II hampir secara keseluruhan memiliki mutabi’ .
Setelah mengetahui seluruh jalur periwayatan, penelitian difokuskan pada hadits no. 2987 yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Dalam hal ini akan diambil satu dari 3 jalur periwayatan.
Penelitian Kualitas Sanad
Abu Dawud
  1. Nama lengkap : Sulaiman ibn al-’Asy’ats ibn Syidad ibn ‘Amru ibn Amir, Lahir 202 H dan wafat hari Jum’at 16 Syawwal 275 H di Bashrah.
  2. Diantara guru-gurunya adalah : Sulaiman ibn Harb, Muslim ibn Ibrahim, Abdullah ibn Raja’, Abi al-Walid al-Tayalisi, Musa ibn Isma’il dll.
  3. Diantara murid-muridnya adalah : Abu Isa, Ibrahim ibn Hamdani, Abu al-Tayyib Ahmad ibn Ibrahim, Abu Bakr an-Najad.
  4. Pernyataan kritikus tentang dirinya : Abdurrahman ibn Abi Hatim: Tsiqah, Muhammad ibn Mukhlad : Aqra’u lahu ahl zamanuhu bi al-Hifdzi wa al-taqaddam fih, Musallamah ibn al-Qasim al-Andalusi : Tsiqah Zahidan Arifan.
Musa ibn Isma’il
  1. Nama lengkap : Musa ibn Isma’il (Abu Salamah), Lahir di Bashrah dan Wafat di Bashrah 223 H.
  2. Diantara Guru-gurunya adalah : Abban ibn Yazid, Ibrahim ibn Sa’ad, Isma’il ibn Ja’far ibn Abdurrahman ibn Auf, Isma’il ibn Ja’far Abi Katsir, Tsabit ibn Yazid, Hummad ibn Salamah dll.
  3. Diantara Murid-muridnya adalah : Ahmad ibn al-Hasan ibn Humaidi, Hasan ibn Ali ibn Muhammad, Abdurrahman ibn Abd al-Wahhab, Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim. dll.
  4. Pernyataan kritikus tentang dirinya : Abd al-Walid al-Toyalisi : Tsiqah Shuduq, Yahya ibn Mu’ayan : Tsiqah Ma’mun, Ibn Hibban : min al-Mttaqanin, Sementara selain ulama diatas menyatakan Musa ibn Isma’il Tsiqah.
Hummad ibn Salamah
  1. Nama lengap : Hummad ibn Salamah (Abu Salamah), lahir di Bashrah dan wafat tahun 167 H
  2. Diantara Guru-gurunya adalah : Abu Ashim, Azraq ibn Qays, Aslamah ibn Malik, Anas ibn Sirin, Hisyam ibn Hasan dll.
  3. Diantara murid-muridnya adalah : Ibrahim ibn al-Hajjaj ibn Zayd, Ahmad ibn Ishaq ibn Zayd, Ishaq ibn Manshur, Aswad ibn Amir, Musa ibn Isma’il dll.
  4. Pernyataan Kritikus tentang dirinya : As-sajiy : Hafidz Tsiqah Ma’mun, Ibn Hibban : Dzakarohu fi as-Tsiqah, Sementara selain dua ulama diatas menilai tsiqah.
Hisyam ibn Hasan
  1. Nama lengkap : Hisyam ibn Hasan (Abu Abdillah) Lahir di Bashrah dan wafat tahun 148 H
  2. Diantara Guru-gurunya adalah : Abu Idris, anas ibn Sirin, Ayyub ibn Taymiyyah ibn Kaysan, Jamil ibn Marrah, Hasan ibn Abi al-Hasan Yasar, Muhammad ibn Sirin Dll.
  3. Diantara Muruid-muridnya adalah : Abu Bakr ibn ‘Iyasy ibn Salim, Ishaq ibn Yusuf, Tsabit ibn Yazid, Ja’far ibn Sulaiman, Hafsh ibn Ghiyats ibn Thalaq Hummad ibn Salamah dll.
  4. Pernyataan kririkus tentang dirinya : Ibn Abi Arubah : Ma Ra’aytu Ahfadzu ‘an ibn sirin minhu, Ahmad ibn Hanbal : Shalih la ba’ts bih, Abu Hatim al-Razy : Shuduq, Al-’ajli : Tsiqah Hasan al-Hadits, Sementara selain kelima ulama diatas mengatakan bahwa Hisyam in Hasan Tsiqah.
Muhammad ibn Sirin
  1. Nama lengkap : Muhammad ibn Sirin Mawla ibn Malik (Abu Bakr) Lahir di Bashrah dan wafat tahun 110 H
  2. Diantara guru-gurunya adalah : Abu Ubaidah ibn Hudzaifah, Anas ibn Malik, Harits ibn Ruba’i, Hudzaifah ibn al-Yaman, Hafshah bint Sirin Abu Hurairah dll
  3. Diantara Murid-muridnya adalah : Hisyam ibn Hasan, Abu Ma’an ibn Anas, Asma’ ibn Ubaid, Jarir ibn Hazm ibn Namir dll.
  4. Pernyataan Kritikustentang dirinya : Ibn ‘Awn : Yahditsu bi al-Haditsi ‘ala Hurufihi, Ahmad ibn Hanbal : Min al-Tsiqah, Muhammad ibn Sa’id : Tsiqah Ma’mun, Ibn Hibban : Hafidz Mutaqun, Sementara Selain empat ulama’ diatas mengatakan bahwa Muhammad ibn Sirin Tsiqah.
Abu Hurairah
  1. Nama lengkap Abdurrahman ibn Sakhr (Abu Huraurah) lahir dan wafat di madinah tahun 57 H
  2. Diantara Guru-gurunya adalah : Ubay ibn Ka’b ibn Qays, Aslamah ibn Zaid ibn Haritsah, Bashrah ibn Abi Bashrah, Hasan ibn Tsabit dll.
  3. Diantara murid-muridnya adalah : Ibrahim ibn Isma’il, Ibrahim ibn Abdullah ibn Hanin, Abu al-Rabi’, Muhammad ibn Sirin dll.
  4. Pernyataan Kritikus tentang dirinya: [6]
من الصحابة ورتبتهم أسمى مراتب العدالة والتوثيق
Dari data-data yang telah disebutkan sebelumnya, hadits Abu Dawud No. 2987 ini merupakan hadits Ahad karena dari pengamatan terhadap skema sanad diketahui bahwa periwayat pertama dari semua jalur periwayat adalah Shahabat Abu Hurairah. Meskipun demikian pada tingkatan periwayatan ke-II hampir kesemuanya memiliki mutabi’.
Di lihat dari rangkaian nama-nama periwayat dan tata cara periwayatan Hadits tersebut diawali dengan haddatsana. Yang menyatakan kata itu adalah Abu Dawud yaitu, penyusun kitab Sunan Abu Dawud. Dalam mengungkapkan riwayat, Abu Dawud menyandarkan riwayatnya kepada Musa ibn Isma’il. Pada tabel periwayat jalur Abu Dawud diatas jelas bahwa adanya ketersambungan sanad. Adapun lambang-lambang metode periwayatan dari hadits diatas adalah: haddatsana, ‘an dan qala. haddatsana dan qala fulan termasuk dalam metode as-sama’, sedangkan ‘an menurut mayoritas ulama’ juga termasuk dalam metode as-sama’ dengan syarat-syarat tertentu, meskipun sebagian ulama lain menyatakan bahwa hadits yang mengan dung harf ‘an adalah sanad yang terputus.
Dalam jalur periwayatan ini terdapat enam periwayat sekaligus mukharij nya. Setelah dilakukan penelitian historis terhadap keenam periwayat, masing-masing sangat memungkinkan untuk terjadinya proses penyampaian dan penerimaan hadits. Abu Hurairah, periwayat pertama wafat pada tahun 57 H Ibn Sirin wafat 110 H Hisyam wafat pada tahun 148 H, Hummad Ibn Salamah wafat 167 H, Musa Ibn Isma’il 223 H, Abu Dawud 275 H. Dalam hal ini sangat mungkin akan terjadinya pertemuan dalam kurun waktu cukup yang lama secara estafet. Berdasarkan data historisnya juga disebutkan bahwa masing-masing periwayat diatas memiliki hubungan guru dan murid secara estafet pula. Adapun setelah dilakukan cross check terhadap kualitas dari semua periwayat adalah tsiqah. Diperkuat dengan metode al-Ta’dil muqaddamun ‘ala al-Jarh[7] karena melihat kualitas Abu Hurairah yang merupakan Sahabat Nabi saw.
Berdasarkan analisis diatas hadits Kitab Al-Buyu’ No. 2987 dalam Suanan Abu Dawud ini merupakan Hadits Shahih karena ketersambungan atau ittishol sanad, kualitas pribadi dan intelektual periwayat dan terhindar dari syudzudz dan illah meskipun tergolong Hadits Ahad.
Meneliti Susunan Redaksi Matan yang Setema
Setelah dilakukan penelitian sanad (kritik sanad) pada pembahasan sebelumnya, dilanjutkan dengan melakukan penelitian matan (kritik matan) untuk mengetahui kualitas matan tersebut. Sebagai langkah awal penelitian diproyeksikan pada susunan redaksi matan yang setema.[8] Untuk mempermudah penelitian, hanya akan dicantumkan langsung pada matan hadits yang setema.[9]
[Bukhori Kitab al-Buyu' no. hadits 2007]
مَنْ اشْتَرَى غَنَمًا مُصَرَّاةً فَاحْتَلَبَهَا فَإِنْ رَضِيَهَا أَمْسَكَهَا وَإِنْ سَخِطَهَا فَفِي حَلْبَتِهَا صَاعٌ مِنْ تَمْرٍ
[Muslim Kitab al-Buyu' no. hadits 2802, 2803, 2804, 2805.]
مَنْ اشْتَرَى شَاةً مُصَرَّاةً فَلْيَنْقَلِبْ بِهَا فَلْيَحْلُبْهَا فَإِنْ رَضِيَ حِلَابَهَا أَمْسَكَهَا وَإِلَّا رَدَّهَا وَمَعَهَا صَاعٌ مِنْ تَمْر
مَنْ ابْتَاعَ شَاةً مُصَرَّاةً فَهُوَ فِيهَا بِالْخِيَارِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَهَا وَإِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَرَدَّ مَعَهَا صَاعًا مِنْ تَمْرٍ
مَنْ اشْتَرَى شَاةً مُصَرَّاةً فَهُوَ بِالْخِيَارِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَإِنْ رَدَّهَا رَدَّ مَعَهَا صَاعًا مِنْ طَعَامٍ لَا سَمْرَاءَ ٍ
مَنْ اشْتَرَى شَاةً مُصَرَّاةً فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَهَا وَإِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ تَمْرٍ لَا سَمْرَاءَ
[Turmudzi Kitab al-Buyu' 'an Rasulullah no. hadits 1172]
مَنْ اشْتَرَى مُصَرَّاةً فَهُوَ بِالْخِيَارِ إِذَا حَلَبَهَا إِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَرَدَّ مَعَهَا صَاعًا مِنْ تَمْرٍ
[Nasa'i Kitab al-Buyu' no. hadits 4412]
مَنْ اشْتَرَى مُصَرَّاةً فَإِنْ رَضِيَهَا إِذَا حَلَبَهَا فَلْيُمْسِكْهَا وَإِنْ كَرِهَهَا فَلْيَرُدَّهَا وَمَعَهَا صَاعٌ مِنْ تَمْرٍ
[Ad-Darimi Kitab al-Buyu' no. hadits 2440]
مَنْ اشْتَرَى شَاةً مُصَرَّاةً أَوْ لَقْحَةً مُصَرَّاةً فَهُوَ بِالْخِيَارِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَإِنْ رَدَّهَا رَدَّ مَعَهَا صَاعًا مِنْ طَعَامٍ لَا سَمْرَاءَ
[Ahmad Kitab Baqi Musnad al-Muksirin No. 7211,7373,8645,9192,9581,9678, 9849]
مَنْ اشْتَرَى لِقْحَةً مُصَرَّاةً أَوْ شَاةً مُصَرَّاةً فَحَلَبَهَا فَهُوَ بِأَحَدِ النَّظَرَيْنِ بِالْخِيَارِ إِلَى أَنْ يَحُوزَهَا أَوْ يَرُدَّهَا وَإِنَاءً مِنْ طَعَامٍ
مَنْ اشْتَرَى شَاةً مُصَرَّاةً فَإِنَّهُ يَحْلُبُهَا فَإِنْ رَضِيَهَا أَخَذَهَا وَإِلَّا رَدَّهَا وَرَدَّ مَعَهَا صَاعًا مِنْ تَمْرٍ
مَنْ اشْتَرَى شَاةً مُصَرَّاةً فَهُوَ بِالْخِيَارِ إِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ تَمْرٍ
مَنْ اشْتَرَى شَاةً مُصَرَّاةً فَرَدَّهَا رَدَّ مَعَهَا صَاعًا مِنْ تَمْرٍ لَا سَمْرَاءَ
مَنْ اشْتَرَى شَاةً مُصَرَّاةً فَلْيَحْلِبْهَا فَإِنْ لَمْ يَرْضَهَا فَلْيَرُدَّهَا وَلْيَرُدَّ مَعَهَا صَاعًا مِنْ تَمْرٍ
مَنْ اشْتَرَى شَاةً فَوَجَدَهَا مُصَرَّاةً فَهُوَ بِالْخِيَارِ فَلْيَرُدَّهَا إِنْ شَاءَ وَيَرُدَّ مَعَهَا صَاعًا مِنْ تَمْرٍ
مَنْ اشْتَرَى شَاةً مُصَرَّاةً فَهُوَ بِالْخِيَارِ إِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَمَعَهَا صَاعٌ مِنْ تَمْر
Dari hadits-hadits yang setema dan semakna diatas, dapat diklasifikan sebagai berikut:
  1. Redaksi مَنْ اشْتَرَى ditemukan pada seluruh hadits diatas kecuali 1 riwayat muslim dengan menggunakan redaksi مَنْ ابْتَاعَ
  2. Redaksi شَاةً ditemukan pada 12 hadits, 2 Hadits yaitu 1 diriwayatkan oleh Bukhori dan 1 diriwayatkan oleh Abu Dawud menggunakan kata غَنَمًا : 3 Redaksi tidak menyebutkan keterangan Subjek yaitu: 2 hadits diriwayatkan oleh Turmudzi dan 1 hadits oleh Nasa’i, Redaksi لَقْحَةً ditemukan dalam 2 hadits yaitu diriwayatkan oleh Ad-Darimi dan Ahmad namun dalam dua redaksi tersebut juga menggunakan kata شَاةً.
  3. Setelah kata مَنْ اشْتَرَى شَاةً مُصَرَّاةً dalam hadits-hadits diatas terdapat perbedaan kalimat yang cukup variatif yaitu : Redaksi فَاحْتَلَبَهَا فَإِنْ رَضِيَهَا أَمْسَكَهَا وَإِنْ سَخِطَهَا فَفِي حَلْبَتِهَا yang ditemukan pada riwayat bukhori, Redaksi فَلْيَنْقَلِبْ بِهَا فَلْيَحْلُبْهَا فَإِنْ رَضِيَ حِلَابَهَا أَمْسَكَهَا وَإِلَّا رَدَّهَا وَمَعَهَا dan, Redaksi إِنْ شَاءَ أَمْسَكَهَا وَإِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَرَدَّ مَعَهَا pada riwayat Muslim, Redaksi فَإِنْ رَدَّهَا رَدَّ مَعَهَا pada riwayat Muslim dan Darimi, Redaksi إِنْ شَاءَ أَمْسَكَهَا وَإِنْ شَاءَ رَدَّهَا, pada riwayat Turmudzi, Redaksi فَإِنْ رَضِيَهَا إِذَا حَلَبَهَا فَلْيُمْسِكْهَا وَإِنْ كَرِهَهَا فَلْيَرُدَّهَا وَمَعَهَا pada Nasa’i, Redaksi فَحَلَبَهَا فَهُوَ بِأَحَدِ النَّظَرَيْنِ بِالْخِيَارِ إِلَى أَنْ يَحُوزَهَا أَوْ يَرُدَّهَا, Redaksi فَإِنَّهُ يَحْلُبُهَا فَإِنْ رَضِيَهَا أَخَذَهَا وَإِلَّا رَدَّهَا وَرَدَّ مَعَهَا, Redaksi إِنْ شَاءَ رَدَّهَا, Redaksi فَرَدَّهَا رَدَّ مَعَهَا, Redaksi فَلْيَحْلِبْهَا فَإِنْ لَمْ يَرْضَهَا فَلْيَرُدَّهَا وَلْيَرُدَّ مَعَهَا, Redaksi فَلْيَرُدَّهَا إِنْ شَاءَ وَيَرُدَّ مَعَهَا, Redaksi إِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَمَعَهَا pada riwayat Ahmad.
  4. Redaksi بِالْخِيَارِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ditemukan pada 3 hadits yaitu 2 hadits diriwayatkan oleh Muslim dan 1 hadits diriwayatkan oleh Darimi. Sedangkan dengan redaksi بِالْخِيَارِ ditemukan pada 4 hadits yaitu 1 diriwayatkan oleh Turmudzi dan 3 hadits diriwayatkan oleh Ahmad.
  5. Redaksi صَاعٌ مِنْ تَمْرٍ ditemukan pada 10 Hadits yaitu 1 Riwayat Bukhori, 3 riwayat muslim, 1 riwayat Nasa’i, 5 diriwayatkan oleh Ahmad. Dalam redaksi صَاعًا مِنْ طَعَامٍ لَا سَمْرَاءَ ditemukan pada 3 Hadits yaitu 1 riwayat Muslim, 1 riwayat Darimi dan 1 hadits Abu Dawud yang menjadi objek penelitian. Sedangkan dalam redaksi صَاعًا مِنْ تَمْرٍ لَا سَمْرَاءَ ditemukan pada 2 hadits yaitu 1 riwayat Muslim dan 1 riwayat Ahmad. Selain itu ditemukan juga 1 Redaksi إِنَاءً مِنْ طَعَامٍ[10] yang hanya diriwayatkan oleh Ahmad.
Berdasarkan Pemetaan kata-perkata diatas dapat diperoleh pemahaman bahwa: kata مَنْ اشْتَرَى dan kata مَنْ ابْتَاعَ memiliki makna sama yaitu membeli. Kata شَاةً, غَنَمًا, juga bermakna sama. Dalam poin ketiga meskipun dalam redaksi yang variatif namun menunjukkan arti yang sama bahwa seorang pembeli dapat atau boleh mengembalikan yang di belinya (kambing) tersebut. Dalam poin ke-4 (empat) terdapat perbedaan yaitu adanya hak pilih (khiyar) dan dalam redaksi lain hak khiyar tersebut dibatasi selama tiga hari. Sedangkan pada poin terakhir juga terdapat perbedaan yaitu satu sha’ kurma, pada redaksi lainnya disebutkan satu sha’ makanan bukan gandum dalam redaksi lainnya disebutkan satu sha’ kurma bukan gandum dan dalam satu redaksi menggunakan satu Bejana Makanan.
Dengan demikian, dari keseluruhan hadits di atas menunjukkan makna yang sama yaitu kewajiban seseorang untuk memberikan kompensasi terhadap pengembalian barang yang sudah dibeli karena barang tersebut menghasilkan sesuatu yang bermanfaat (dalam hal ini susu yang diperah) meskipun terdapat perbedaan redaksi tentang masa atau batas waktu khiyar dan pada jumlah kompensasi yang harus dibayarkan.
Meneliti kandungan Matan
Selanjutnya, sebagai acuan dalam melakukan kritik matan hadits, digunakan tolok ukur berdasarkan kriteria Shalahuin Ibn Ahmad al-Adlabi dalam Manhaj Naqd al-Matn Inda Ulama’ al-Hadits al-Nabawi yaitu: 1) Teks Hadits tidak bertentangan dengan al-Qur’an, 2) Teks Hadits tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat, 3) Tidak bertentangan dengan akal sehat dan 4) Berciri-cirikan hadits Nabi.[11]
Tidak Bertentangan dengan al-Qur’an
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (an-Nisa’ : 29)
Ayat di atas dapat dikaitkan dengan perihal jual beli. Dalam Tafsir at-Thabari dijelaskan larangan mengambil harta orang lain dengan bathil atau yang diharamkan oleh Allah seperti riba dan perkara-perkara yang di larang oleh Allah.[12] Dijelaskan juga tentang kehalalan sistem jua beli dengan landasan saling ridha. Dalam Tafsir yang di terbitkan oleh Departemen Agama juga mengungkapkan hal yang senada.[13] Selain itu, dalam menafsirkan ayat diatas, Musthafa al-Maraghi mengatakan bahwa ayat diatas mengisyaratkan pada tiga hal: 1.) Halalnya perniagaan adalah saling meridloi antara pembeli dan penjual. Penipuan, pendustaan dan pemalsuan adalah hal yang diharamkan. 2.) Segala bentuk perniagaan yang memiliki unsur kebatilan tidak akan kekal. 3.) anjuran menyenangi perniagaan karena merupakan kebutuhan manusia, kecerdasan dalam memilih barang serta teliti dalam bertransaksi.[14]
Ini menunjukkan bahwa al-Qur’an mengisyaratkan sistem yang mengatur kemashlahatan manusia. Bahkan secara khusus disebutkan dalam ayat diatas dengan menggunakan lafadz تجارة yang dalam konteks ayat diatas berarti perniagaan. Dikaitkan dengan hadits diatas, bahwa terjadi akad jual beli hewan ternak yang dapat diambil manfaatnya. Ketika sang pembeli tersebut ingin mengembalikan hewan tersebut Nabi Saw. memerintahkan untuk memberikan kompensasi atas manfaat yang telah diperoleh oleh pembeli. Secara garis besar ayat diatas tidak bertentangan dengan hadits yang diteliti karena menunjukkan sebuah sitem dalam perniagaan sehingga tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan.
Tidak Bertentangan dengan Hadits yang lebih Kuat
Setelah dilakukan penelusuran, ditemukan Hadits yang memiliki kualitas sanad lebih unggul dan memiliki teks hadits yang sama persis dengan teks hadits Abu Dawud kitab al-Buyu’, no. 2987 tersebut, yaitu dalam Shahih Muslim :
Muslim, Kitab al-Buyu’ no. hadits 2803
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ جَبَلَةَ بْنِ أَبِي رَوَّادٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ يَعْنِي الْعَقَدِيَّ حَدَّثَنَا قُرَّةُ عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اشْتَرَى شَاةً مُصَرَّاةً فَهُوَ بِالْخِيَارِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَإِنْ رَدَّهَا رَدَّ مَعَهَا صَاعًا مِنْ طَعَامٍ لَا سَمْرَاءَ
Namun dalam redaksi lain ditemukan pada riwayat Bukhori yang satu tema namun dengan teks hadits yang sedikit berbeda :
al-Bukhari, Kitab al-Buyu’ no. hadits 2007.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا الْمَكِّيُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي زِيَادٌ أَنَّ ثَابِتًا مَوْلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اشْتَرَى غَنَمًا مُصَرَّاةً فَاحْتَلَبَهَا فَإِنْ رَضِيَهَا أَمْسَكَهَا وَإِنْ سَخِطَهَا فَفِي حَلْبَتِهَا صَاعٌ مِنْ تَمْرٍ
Dalam Aunul Ma’bud syarah Sunan Abu Dawud hanya dijelaskan bahwa “Satu Sha’ dari makanan bukan gandum,”[15] tidak dijelaskan secara rinci tentang hadits tersebut, akan tetapi melihat penjelasan terhadap hadits sebelum dan sesudahnya dapat dipahami bahwa maksud hadits tersebut adalah : membeli kambing perahan yang dapat menghasilkan susu. Ketika sang pembeli ingin mengembalikan kambing tersebut diberi waktu tiga hari setelah pembelian. Namun dengan menyertakan kurma sebagai bentuk kompensasi yang telah diperah tersebut.[16] Dalam Fath al-Bari dijelaskan bahwa terjadi ikhtilaf dalam menentukan apakah sama kompensasi satu sha’ kurma untuk satu kambing dengan beberapa kambing? satu sha’ merupakan kompensasi atas satu kambing.[17] Sedangkan dalam penjelasan lain berkaitan dengan bentuk kompensasi yaitu kurma, makanan, maupun gandum dijelaskan bahwa kompensasi tersebut tergantung kesepakatan. Sebagai contoh karena perbedaan Negara, tidak mungkin atau sulit bagi seorang di Indonesia harus memberikan kurma sebagai kompensasi.[18]
Dengan demikian meskipun terdapat perbedaan dalam redaksinya hadits-hadits tersebut tetap mengartikan pada pemahaman yang sama (tidak bertentangan). Dalam beberapa syarh hadits memang terjadi perbedaan pendapat namun yang menjadi permasalahan adalah permasalahan khilafiyah. Adalah sebuah kelaziman terhadi perbedaan dalam menjelaskan dan mengkontekstualisasikan hadits tersebut.
Tidak Bertentangan dengan Akal Sehat & Menunjukkan ciri-ciri Kenabian
Berbeda dengan hanya melakukan pengamatan terhadap teks hadits, Setelah dilakukan penelitian dengan melihat beberapa tafsir al-Qur’an dan syarh hadits yang telah dijelaskan sebelumnya, paling tidak ditemukan titik temu atau benang merah yang mampu menjelaskan hadits tersebut sehingga dapat dipahami latar belakang dan pemahaman yang diisyaratkan. Akhirnya layak dikatakan bahwa hadits Abu Dawud tersebut tidak bertentangan dengan akal sehat.dan bercirikan sabda Nabi Saw.
Kontekstualisasi
Sebagai kontekstualisasi, dan proses pemahaman diperlukan penumbuhan makna hadits kepada realita kehidupan kekinian. Konstruk rasional universal atau tujuan moral-sosial universal yang diperoleh dari proses generalisasi tersebut diproyeksikan kedalam realitas kehidupan kekinian sehingga memiliki makna praksis bagi penyelesaian problematika hukum dan kemasyarakatan. Ia harus ditumbuhkan dalam konteks sosio-historis yang kongkrit dimasa sekarang.[19] Selain itu untuk memberikan kontribusi kajian penelitian hadits dalam konteks kekinian perlu adanya pengadopsian berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang saat ini.[20] Oleh karena itu sebelum memberikan kesimpulan terhadap hadits akan sedikit dikaitkan dengan konsep ekonomi Islam saat ini.
Berdasarkan definisinya, ekonomi Islam berarti petunjuk dan aturan syari’ah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh dan menggunakan sumber daya material agar memenuhi kebutuhan manusia dan agar dapat menjelaskan kewajibannya kepada Allah dan masyarakat.[21] Islam memandang bahwa kepemilikan yang sebenarnya adalah milik Allah karena Dialah yang telah menciptakan semua yang ada di alam semesta ini. Sehingga dalam mengelola dan menggunakan semua bentuk  materi harus selalu dalam bingkai syari’ah, tidak boleh hanya semata-mata pertimbangan untung rugi tanpa memperhatikan tuntunan syari’at.
Dalam beberapa literatur dijelaskan bahwa Ibnu Taymiyah turut memunculkan konsep-konsep ekonomi yang dilandasi oleh al-Qur’an dan Sunnah dalam hal nilai-nilai etika bisnis. Salaah satunya adalah konsep : Just Compensation (compensation of the Eqivalent) adalah kompensasi ekuivalen yang diukur dengan nilai ekuivalennya. Permasalahan ini muncul ketika ada perselisihan moral berkaitan dengan transaksi barang dan jasa. Compensation of the equivalent adalah jumlah ekuivalen dari obyek tertentu dalam kondisi wajar yang berkaitan dengan pengenaan tarif dan kebiasaan. Dikaitkan dengan penelitian hadits Abu Dawud Kitab Al-Buyu’, No. 2987 dapat diraba bahwa dalam matan hadits tersebut terdapat keterkaitan. Ini berarti secara kontekstual Hadits Nabi juga menunjukkan keuniversalannya.
Kesimpulan
Setelah diakukan penelitian terhadap sanad dan matan hadits dapat diperoleh kesimpulan bahwa hadits Abu Dawud Kitab Al-Buyu’, No. 2987 merupakan Hadits Shohih dilihat dari sanadnya karena ketersambungan atau ittishol sanad, kualitas pribadi dan intelektual periwayat dan terhindar dari syudzudz dan illah meskipun tergolong Hadits Ahad. Dilihat dari matannya Hadits Abu Dawud ini juga memenuhi seluruh kriteria Kritik Matan Hadits yang disandarkan pada metode Dr. Shalahuddin al-Adlabi. Selain itu juga terhindar dari adanya syudzudz dan illah pada matan sehingga hadits tersebut berkualitas shahih dilihat dari kualitas matannya. Akhirnya, sebagai kesimpulan bahwa Hadits Abu Dawud Kitab al-Buyu’, No. 2987 merupakan Hadits Shahih pada Sanad dan Matannya.

[1] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), hlm 115.
[2] Arifin Bey, Terjemah Sunan Abu Daud (Semarang: as-Syifa’, 1993), Jilid IV, hlm. 71.
[3] Lihat Suryadi dkk, Metodologi Penelitian Hadits (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 48, Lihat juga Nurun Najwah, Materi Takhrij al-Hadits. hlm. 7.
[4] CD Mausu’ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah. 1991.
[5] M. Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm 50.
[6] Lihat CD al-A’lam wa Tarajim al-Rijal & CD Mausu’ah Ruwat al-Hadits.
[7] Lihat M. Syuhudi Isma’il, Metdologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 73.
[8] Syuhudi Ismail, Metodologi….  hlm. 123.
[9] Teks Hadits secara keseluruhan tidak ditampilkan..
[10] Ina’ berarti bejana, lihat Kamus al-Bisri (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), hlm. 18.
[11] Lihat Shalahudin al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadits terj. Qodirun Nur (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004).
[12] CD Maktabah Syamilah, Tafsir at-Thabari.
[13] Lihat al-Qur’an dan Tafsirnya (Yogyakarta: Departemen Agama RI, 1990), Juz 5. hlm. 159-160.
[14] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Semarang: Toha Putra, tt), Juz. 5. hlm. 27-28.
[15] CD Maktabah Syamilah, ‘Aun al-Ma’bud Juz 7. hlm. 433.
[16] Muhammad Syams al-Haq, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud (Maktabah as-Salfiyah, 1968), Juz 6.
[17] CD maktabah Syamilah, Fath al-Bari, Juz 6. hlm. 479.
[18] CD Maktabah Syamilah, Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, Juz 5, hlm. 315.
[19] Musahadi Ham, Evolusi Konsep Sunnah (Semarang: Aneka Ilmu, 2000), hlm. 159 .
[20] Suryadi dkk, Metodologi Penelitian Hadis (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga,  2006), hlm.167.
[21] Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam (Yogyakarta: LPPI, 2001), hlm. 7.

1 komentar:

  1. nice, gan di buku apa terdapat skema i'tibar sanad yang sampean upload di hal ini

    BalasHapus

PENYAKIT HATI [KAGUM DIRI, MERASA POL DEWE]

    Kagum diri dapat diartikan suatu penyakit hati yang membuat seseorang merasa bahagia dengan pujian dari orang lain dan merasa diri...